Produk dari Ketidakjujuran: Gibran, Kaesang, Bobby, dan Prabowo
Ketidakjujuran bukan hanya menjadi pakaian yang melekat pada tubuh Jokowi, tetapi juga menjadi rahim yang melahirkan anak-anak politiknya.
Keberadaan Gibran sebagai Wakil Presiden bukanlah hasil dari kompetisi yang sehat, melainkan produk dari manipulasi hukum yang memungkinkan seseorang yang belum memenuhi syarat usia untuk mencalonkan diri.
Dalam hal ini, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberi jalan bagi Gibran menjadi contoh nyata bagaimana hukum bisa direkayasa demi kepentingan keluarga penguasa.
Kaesang, yang tiba-tiba muncul sebagai Ketua Umum PSI, juga merupakan tanda lain dari bagaimana politik dinasti dipertontonkan secara vulgar.
Dengan pengalaman politik yang nyaris nol, ia tiba-tiba menjadi pemimpin partai yang seharusnya berbicara tentang reformasi dan demokrasi.
Sementara Bobby Nasution, menantu Jokowi, menjadi calon Gubernur Sumatera Utara bukan karena rekam jejak yang luar biasa, tetapi karena akses kekuasaan yang diwarisi dari mertuanya.
Lebih jauh lagi, Prabowo sebagai Presiden yang naik berkat dukungan Jokowi adalah contoh nyata bagaimana lawan politik bisa dijinakkan dan diubah menjadi sekutu demi melanggengkan kepentingan tertentu.
Jokowi berhasil memainkan peran ganda: di satu sisi, ia membangun citra bahwa ia menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Prabowo, tetapi di sisi lain, ia tetap menanamkan pengaruhnya melalui keluarga dan jaringan loyalisnya.
Ketidakjujuran yang Dimahkotai sebagai Legitimasi Kekuasaan
Jika dalam semiotika sebuah tanda memperoleh maknanya dari relasi dengan tanda-tanda lain, maka tanda “Jokowi” tidak bisa dilepaskan dari tanda-tanda ketidakjujuran yang mengitarinya.
Dengan kata lain, ketidakjujuran bukan sekadar bagian dari strategi politiknya, tetapi sudah menjadi identitas yang melekat pada setiap kebijakan, keputusan, dan langkah politik yang ia ambil.
Dalam sistem politik yang sehat, kejujuran seharusnya menjadi mahkota yang dikenakan oleh pemimpin.
Namun dalam era Jokowi, justru ketidakjujuran yang dimahkotai, diwariskan, dan dijadikan sebagai landasan legitimasi kekuasaan.
Maka tak heran jika setiap produk politik yang lahir dari rahim ketidakjujuran ini tidak mendapat tempat di hati rakyat yang masih berpikir kritis.
Pada akhirnya, semiotika kejujuran dalam politik Indonesia telah mati. Yang tersisa hanyalah tanda-tanda ketidakjujuran yang terus direproduksi, diwariskan, dan dinormalisasi sebagai bagian dari permainan kekuasaan.
Dan selama rakyat masih membiarkan ini terjadi, selama itu pula kita akan terus menyaksikan dinasti kebohongan yang tumbuh subur tanpa perlawanan. ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur