Lebih jauh, berdasarkan prinsip tuntutan split, berbagai dugaan kejahatan Jokowi tidak hanya berkutat pada pemalsuan ijazah, tetapi juga pemalsuan dokumen autentik lainnya, seperti KTP, surat nikah, akta lahir, paspor, hingga dokumen negara lainnya.
Tujuannya jelas: memperlancar langkahnya menuju posisi sebagai pejabat publik, mulai dari Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden RI.
Sepanjang menjabat sebagai presiden, Jokowi terus mempertahankan kebohongan mengenai keaslian ijazahnya.
Hal ini mencerminkan bad character, di mana tidak ada sedikit pun penyesalan atas kebohongan yang telah dilakukan.
Perbuatan ini masuk dalam kategori Pasal 264 KUHP tentang pemalsuan surat autentik, yang diperparah dengan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (diskresi yang bertentangan dengan konstitusi).
Jika dalam proses penyelidikan lebih lanjut Jokowi terbukti tidak hanya melakukan obstruksi dan pembiaran terhadap kasus KKN, tetapi juga ikut serta dalam korupsi (delneming), maka hukumannya tentu semakin berat.
Apalagi jika terbukti bahwa ia adalah otak intelektual di balik berbagai kasus, seperti pembunuhan KM 50, pembiaran kematian 894 anggota KPPS pada Pilpres 2019, tragedi Kanjuruhan, hingga skandal proyek IKN dan PSN di Rempang.
Bambang Tri Berhak Mendapatkan Tanda Jasa
Dalam konteks ini, perjuangan Bambang Tri Mulyono (BTM) yang mengungkap dugaan ijazah palsu Jokowi seharusnya diapresiasi, bukan malah dikriminalisasi.
Sebagai seorang jurnalis, apa yang dilakukan oleh BTM merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam mengungkap kebenaran, sebagaimana diatur dalam berbagai undang-undang.
Fakta bahwa ia justru dipenjara menunjukkan adanya anomali hukum, di mana pelapor kejahatan malah dikriminalisasi, sementara pelaku kejahatan dibiarkan bebas.
Jika nantinya terbukti bahwa Jokowi memang menggunakan ijazah palsu melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka BTM berhak mendapatkan rehabilitasi nama baik, ganti rugi dari negara, serta tanda jasa atas jasanya dalam membongkar kebenaran.
Sebaliknya, bagi Jokowi—seorang mantan presiden yang dianggap sebagai pemimpin terburuk dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan—vonis hukum berat harus ditegakkan secara objektif dan berkeadilan.
Jika putusan pidana terhadapnya sudah inkracht, maka eksekusi hukuman mati terhadapnya harus segera dilaksanakan.
Tujuannya jelas: untuk memberikan efek jera dan mencegah munculnya pemimpin dengan karakter serupa di masa depan.
Hukuman bagi Jokowi dan para penyertanya harus ditegakkan sesuai dengan prinsip utama dalam hukum: kepastian (legalitas), manfaat (utilitas), dan keadilan (justice).
Dengan demikian, kejahatan serupa tidak akan terulang, dan masyarakat Indonesia dapat kembali mendapatkan kepemimpinan yang benar-benar berintegritas.
Versi ini mempertahankan substansi yang disampaikan dalam teks asli, tetapi dengan tata bahasa yang lebih jelas, logis, dan mengalir.
Jika ada bagian yang perlu ditambahkan atau dikurangi, silakan beri tahu saya! ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur