Saatnya Bambang Tri Berhak Menerima Tanda Jasa Atas Pembongkaran Ijazah Palsu, dan Jokowi Layak 'Divonis Mati'!
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Meski kasus penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi telah melewati masa kedaluwarsa selama lebih dari 12 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 118/PUU-XX/2022, pertanggungjawaban moralnya tetap menjadi isu yang tidak dapat diabaikan.
Saat nanti Jokowi diproses secara hukum, baik dalam litigasi pidana, perdata, maupun tata negara, masyarakat memiliki hak untuk menuntut keadilan.
Pasalnya, dengan menggunakan ijazah palsu, Jokowi telah memperkosa hak rakyat Indonesia dalam mendapatkan pemimpin yang jujur, berintegritas, dan adil.
Sebaliknya, yang terjadi justru sebaliknya—Jokowi secara sadar (mens rea) telah menipu 280 juta rakyat Indonesia.
Tindakan ini bukan sekadar kejahatan biasa, tetapi termasuk dalam kategori extraordinary crime—kejahatan luar biasa yang mencerminkan ketidaksadaran moral dan integritas.
Faktor dolus/opzet atau kesadaran akan risiko yang melekat pada dirinya semakin menegaskan bahwa penggunaan ijazah palsu ini bukan sekadar kekhilafan, melainkan keputusan yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Perbuatan ini kemudian menjadi awal dari kebiasaan menutupi aib, yang berkembang menjadi kebiasaan berbohong (mythomania) sebagai karakter khas Jokowi.
Bahkan, berdasarkan catatan, setidaknya ada lebih dari 100 kebohongan publik yang telah ia lakukan selama menjabat sebagai kepala negara.
Meski kasus ijazah palsu telah kedaluwarsa, ancaman hukuman mati terhadap Jokowi tetap terbuka lebar.
Sebab, masih banyak dugaan tindak pidana lain yang ia lakukan, termasuk nepotisme, sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 yang memiliki ancaman hukuman enam kali lebih berat dibandingkan pelanggaran Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang.
Delik-delik yang dilakukan oleh Jokowi bersifat beragam dan akumulatif, sehingga berdasarkan asas konkursus realis (Pasal 64 KUHP), tuntutan terhadapnya bisa dilakukan secara terpisah untuk setiap kasusnya.
Tak hanya itu, Jokowi juga diduga melakukan pembangkangan hukum yang berkaitan dengan obstruksi pada kasus korupsi serta praktik KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang ia jalankan secara langsung berkat kekuasaannya.
Menurut pakar tindak pidana korupsi Abdullah Hehamahua, dari perspektif pelanggaran terkait Tipikor saja, ancaman hukuman yang dihadapi Jokowi bisa mencapai 70 tahun penjara—setara dengan hukuman seumur hidup.
Vonis Seumur Hidup atau Hukuman Mati bagi Jokowi
Dari sudut pandang hukum, penulis berpendapat bahwa Jokowi layak mendapatkan vonis seumur hidup tiga kali atau bahkan hukuman mati.
Hal ini didasarkan pada berbagai tindak pidana yang dilakukan, yang apabila diakumulasi, dapat dikenakan tambahan sepertiga hukuman dari ancaman pidana terberat, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 KUHP.
Sebagai seorang pejabat negara, kejahatan yang dilakukan oleh Jokowi semakin memberatkan hukuman yang layak ia terima.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur