Rakyat, tampaknya, tak percaya bahwa spiritualitas semu bisa diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang rasional dan adil.
Bahkan, wacana yang sempat ia utarakan tentang keinginannya menjadi presiden terdengar lebih sebagai fantasi daripada visi yang matang dan logis. Ia yang mengklaim mampu ‘menembus langit’ justru tak mampu menembus bilik suara rakyat.
Kegagalan demi kegagalan ini menohok satu pertanyaan mendasar: Jika semua ‘ilmu keajaiban’ yang diajarkan benar-benar manjur, mengapa tidak terlihat dampaknya dalam kehidupan pribadinya sendiri?
Mengapa ia sendiri tak berhasil menjadi simbol keberhasilan dari doktrin yang ia sebarkan? Di titik inilah publik mulai membuka mata.
Keajaiban bukanlah alat untuk menipu logika. Spiritualitas tidak bisa menjadi kedok untuk kegagalan manajerial, dan agama tidak boleh menjadi komoditas investasi yang menjerumuskan.
Yusuf Mansur adalah cermin dari bagaimana agama bisa dijual sebagai produk instan kesuksesan—dengan iming-iming keajaiban dan kecepatan hasil.
Tapi realitas adalah guru yang kejam. Ia membongkar semua ilusi dan menguak yang tersembunyi. Dalam kasus Yusuf Mansur, ilusi itu runtuh oleh dirinya sendiri.
Pada akhirnya, umat harus belajar membedakan antara harapan spiritual dan jebakan retorika religius.
Keajaiban sejati bukanlah janji yang digantungkan di atas proposal bisnis, tetapi hasil dari kejujuran, kerja keras, dan akhlak dalam bertindak.
Dan Yusuf Mansur? Ia akan dikenang bukan sebagai pembawa keajaiban, melainkan sebagai peringatan: bahwa iman pun bisa terjerat jika dijual atas nama keuntungan semu.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur