Seolah-olah bangsa ini amnesia. Seolah-olah nalar publik bisa dibeli dengan retorika dan baliho.
Gibran tidak sedang memimpin. Ia sedang diseret. Ia bukan tokoh dengan gagasan, tapi produk dari rekayasa politik.
Dan tanpa ia sadari, langkah-langkahnya menjadi bahan tertawaan—bukan karena dia lucu, tapi karena sistem yang membawanya ke sana begitu buruk.
Ia dijadikan simbol betapa murahnya marwah kekuasaan di negeri ini.
Di warung kopi, di forum akademik, di linimasa media sosial—Gibran adalah bahan cemooh. Ia ditertawakan oleh rakyat yang sudah muak.
Tapi yang lebih menyakitkan: di balik tawa itu tersembunyi rasa getir. Bangsa ini seperti ditampar berkali-kali, lalu diminta tersenyum.
Jika Jokowi membayangkan akan dikenang sebagai bapak pembangunan, sejarah mungkin akan mencatat hal lain.
Ia akan dicatat sebagai presiden yang membuka pintu lebar bagi dinasti politik, membonsai demokrasi, dan membiarkan logika kepemimpinan dijajah oleh kepentingan keluarga.
Apakah bangsa ini sedang dibodohi? Jawaban itu tak lagi perlu ditanya. Yang lebih penting: sampai kapan rakyat akan diam?
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur