Dari Menteng Menuju Istana: 'Sketsa Kudeta Senyap Era Jokowi'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Kita hidup di zaman di mana realitas sering kali kalah oleh narasi, dan yang faktual sering tenggelam oleh yang viral. Tapi tidak untuk kali ini.
Di tengah riuh rendah transisi kekuasaan pasca Pilpres 2024, sebuah peristiwa senyap namun mengguncang terjadi: pertemuan antara Sufmi Dasco Ahmad alias Don Dasco—tangan kanan Prabowo Subianto—dengan Eggi Sudjana, aktivis senior yang selama ini dikenal keras mengkritik Jokowi.
Satu foto, satu meme, dan satu narasi yang tak sengaja mampir ke ponsel penulis menjadi pintu masuk yang tak terelakkan.
Meme itu menarasikan diskusi industrialisasi pedesaan di Lahat, dengan jajaran tokoh-tokoh yang selama ini berada di luar pagar kekuasaan. Tapi yang menarik bukan hanya topik diskusinya—melainkan siapa yang hadir.
Selain Eggi Sudjana, tampak Syahganda Nainggolan, aktivis nasionalis-religius; Bursah Zarnubi, tokoh Golkar progresif; hingga Don Dasco, Wakil Ketua DPR sekaligus aktor intelektual dalam tubuh Gerindra.
Dalam tradisi politik Indonesia, pertemuan semacam ini tidak pernah sekadar “ngopi sore.” Ini adalah panggung simbolik. Dan simbol-simbol tak pernah hadir tanpa pesan.
Pertemuan itu terjadi hanya dua hari setelah Eggi dan pasukan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) berhasil menemui Jokowi di Solo, membahas isu ijazah presiden yang masih kontroversial.
Dalam waktu yang sangat dekat, dua peristiwa politik ini seolah menyusun puzzle yang mengisyaratkan: poros kekuasaan mulai bergeser.
Sebuah kekuatan baru tengah menata langkah, sementara kekuatan lama belum siap mengucapkan selamat tinggal.
Strategi “Pembersihan Senyap” di Kabinet
Istana kini menjadi panggung teater kekuasaan yang rumit. Para tokoh loyalis Jokowi masih bersandar di kursi-kursi kabinet, berharap peralihan kuasa hanya akan menjadi kosmetik politik belaka.
Namun dari ruang-ruang rapat yang tak terjangkau publik, sebuah operasi senyap sedang dijalankan.
Sufmi Dasco Ahmad, selama ini dikenal sebagai manajer taktis Gerindra, dipercaya menjadi arsitek awal pembersihan halus terhadap jejak-jejak loyalis Jokowi.
Bukan sekadar reshuffle, tapi “pengeringan” sumber pengaruh lawas. Operasi ini bukan frontal, tetapi presisi.
Nama-nama calon menteri dan stafsus di masa depan sudah digodok. Pertemuan-pertemuan informal—seperti yang terjadi di Menteng itu—adalah gladi resik atas kekuasaan baru.
Yang membuat ini berbeda adalah formasi yang tengah disusun.
Tak hanya dari kalangan teknokrat atau profesional, tetapi juga para aktivis, bahkan kelompok yang selama ini distigmatisasi sebagai “radikal” atau “pengganggu stabilitas nasional.”
Eggi Sudjana, yang dulu dilabeli sebagai tokoh yang harus diwaspadai, kini justru didudukkan di meja perundingan.
Bukan hanya untuk didengar, tapi dirangkul sebagai bagian dari rekonsolidasi kekuasaan.
Ini tak lepas dari kalkulasi politik yang tajam: Prabowo tidak bisa memimpin negeri ini hanya dengan sisa-sisa Jokowi.
Ia harus membentuk blok kekuasaan sendiri, dengan fondasi yang lebih inklusif—nasionalis, Islamis, dan sipil-militer.
Maka hadirlah para tokoh yang dulu disisihkan: bukan sebagai hiasan, tapi sebagai rekan seperjuangan.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur