POLHUKAM.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons soal disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tetang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua KPK, Setyo Budiyanto memberi tanggapan secara kritis terhadap sejumlah ketentuan dalam UU tersebut.
“KPK memaknai ada beberapa ketentuan yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN,” ujar Setyo Rabu, 7 Mei 2025.
Dalam hal ini, KPK menyoroti keberlakuan Pasal 9G UU BUMN yang menyatakan Anggota Direksi atau Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Menurut KPK, ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Setyo menjelaskan keberadaan UU 28/1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang bertujuan untuk memerangi KKN.
“Maka, sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan penyelenggara negara KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999,” ucap Setyo.
Dalam penjelasan Pasal 9G UU BUMN telah dirumuskan ketentuan yang berbunyi: 'Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.
Setyo mengatakan bahwa ketentuan tersebut dapat dimaknai status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
“Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan/Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Setyo.
Sebagai penyelenggara negara, Setyo menjelaskan mereka memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK dan penerimaan gratifikasi.
Soal Kerugian BUMN, Setyo juga menyinggung Pasal 4B UU BUMN yang berkenaan dengan kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara serta Pasal 4 ayat 5 mengenai modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.
Setyo menerangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan putusan nomor: 59/PUU-XVI/2018 dan 26/PUU-XIX/ 2021 menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.
Mahkamah Konstitusi menyatakan konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara.
Dalam hal ini termasuk BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara, sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.
“Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN,” ungkap Setyo.
Hal itu dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN terjadi akibat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) vide Pasal 3Y dan 9F UU No.1 Tahun 2025.
Misalnya diakibatkan fraud, suap, tidak dilakukan dengan iktikad baik, terdapat konflik kepentingan, dan lalai mencegah timbulnya keuangan negara yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN.
Dari uraian tersebut, Setyo berpandangan KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas di BUMN.
Hal itu dikarenakan dalam konteks hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR).
Ini juga sejalan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta putusan MK nomor: 62/PUU-XVII/2019, di mana kata 'dan/atau' dalam Pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif.
“Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” kata Setyo.
Setyo juga ini menyatakan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di tubuh BUMN merupakan upaya untuk mendorong penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
“Sehingga pengelolaan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai,” pungkas Setyo.
Sumber: disway
Artikel Terkait
Viral, Driver Ojol di Medan Terkejut Antar Paket Isi Mayat Bayi
Viral Bea Cukai Vs Polisi Rebutan Tangkap Mobil Box Pembawa Rokok Ilegal, Netizen: Mereka Berlomba Berbuat Baik
Menaker Siap Hapus Batasan Usia Kerja: Kami Tidak Ingin Ada Diskriminasi!
Detik-detik Ribuan Napi Kuasai Lapas di Sumsel, Sempat Sandera Ustadz Abdul Somad