Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 1956, tegas dinyatakan:
“Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”
Contoh sederhananya, Jika seseorang dilaporkan karena dugaan tindak pidana pencurian, tetapi ada sengketa perdata terkait kepemilikan barang yang dicuri, pengadilan pidana dapat menunda pemeriksaan perkara pidana hingga ada keputusan dari pengadilan perdata mengenai kepemilikan barang tersebut.
Dalam Kasus yang dihadapi klien kami (Dr Roy Suryo dkk), klien kami dilaporkan mencemarkan nama baik Jokowi dan membuat fitnah terkait ijazah palsu Jokowi.
Sebelum memproses ijazah palsu adalah fitnah, tentu harus dibuktikan terlebih dahulu hak keperdataan antara Jokowi dengan ijazah yang dimilikinya.
Jika ternyata, Jokowi tak memiliki hak keperdataan atas ijazahnya karena ijazah tersebut dinyatakan oleh pengadilan perdata tidak sah, maka tidak ada unsur pidana pencemaran dan fitnah terhadap orang yang menyatakan ijazah Jokowi palsu.
Tapi anehnya, penyidik Polda Metro Jaya begitu cepat bertindak.
Secara prematur, tanpa menunggu putusan pengadilan Negeri Surakarta bahkan tanpa pula menghormati proses perdata di Pengadilan Negeri Sleman, secepat kilat memproses laporan Saudara Jokowi.
Sebenarnya, Polisi itu penegak hukum atau alat politik Jokowi?
Polisi tunduk pada hukum dan menghormati pengadilan, atau hanya tunduk pada Jokowi? ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur