Penyelidikan yang dilakukan oleh Bareskrim seolah ingin menutup bab.
Namun publik tahu, upaya penutupan bab sering kali justru membuka jilid baru. Klarifikasi dari pihak Universitas Gadjah Mada memang sudah didapat.
Tapi sejarah pencatatan akademik bukan hanya soal tanda tangan dekan dan tinta stempel.
Ia soal proses, transparansi, dan konsistensi narasi sejak awal.
Isu ijazah ini bukan semata soal dokumen akademik, tapi menyentuh esensi kepercayaan publik terhadap pemimpin nasional.
Dan di sinilah ironi itu muncul: semakin keras negara menyatakan sesuatu itu asli, semakin kuat pula keyakinan sebagian masyarakat bahwa ada yang sedang ditutupi.
Sebagian pihak mungkin akan menuding keraguan ini sebagai upaya menjatuhkan presiden.
Tapi kita lupa, kredibilitas tidak dibangun dengan klarifikasi belakangan, apalagi dengan gaya investigasi yang mengedepankan pamer “kemiripan” fisik dokumen, alih-alih transparansi riwayat akademik sejak masa kampus hingga detik seseorang dilantik menjadi presiden.
Saya pernah menulis bahwa “kebenaran tidak lahir dari keheningan, tetapi dari keberanian membuka fakta.”
Maka jika hari ini Bareskrim menyatakan ijazah itu asli, mungkin memang benar ijazah itu “ada”.
Tapi barangkali, arti lainnya: memang, selama ini ijazah aslinya tidak pernah benar-benar diperlihatkan.
Dan yang absen bukan kertas itu sendiri, tapi rasa percaya yang sudah telanjur kumal. ***
Artikel Terkait
Polisi Gerebek Pesta Gay di Surabaya, Ini Kronologi Lengkap yang Berawal dari Laporan Warga
Bocoran Dokumen hingga Pengacara! 4 Kesamaan Mengejutkan Proses Perceraian Andre Taulany dan Baim Wong
Sengkarut Utang Whoosh: Alasan Jokowi Tegaskan KCJB Bukan untuk Cari Untung
Satu Kembali, Sisanya Hilang: Daftar Lengkap Perhiasan yang Dicuri dari Louvre Paris