Menyoal Ijazah Jokowi dan Kepercayaan Publik: “Identik” Tak Menjawab Esensi Keaslian!

- Jumat, 23 Mei 2025 | 15:45 WIB
Menyoal Ijazah Jokowi dan Kepercayaan Publik: “Identik” Tak Menjawab Esensi Keaslian!


Menyoal Ijazah Jokowi dan Kepercayaan Publik: “Identik” Tak Menjawab Esensi Keaslian!


Oleh: Untung Nursetiawan

Pemerhati Sosial Kota Pekalongan


Pernyataan resmi Bareskrim Polri terkait kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu telah menyisakan banyak tanda tanya di benak publik. 


Dalam laporan yang telah dirilis ke media, Polri menyebut bahwa ijazah Jokowi “identik dengan pembanding.” 


Alih-alih menjawab keraguan masyarakat, pernyataan ini justru memunculkan gelombang pertanyaan baru: Mengapa polisi tidak menyatakan secara tegas bahwa ijazah itu asli? 


Mengapa yang diangkat hanya kemiripan, bukan keotentikan? Dan lebih penting lagi: Ada apa dengan polisi dalam kasus ini?


Istilah “identik” dalam konteks ini terkesan ambigu. Secara linguistik, kata tersebut memang berarti sangat mirip, namun dalam hukum dan penegakan keadilan, kemiripan tidak cukup untuk membuktikan keaslian.


Dalam perkara dugaan pemalsuan, pertanyaan utama adalah: apakah dokumen itu otentik, sah, dan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang? 


Maka ketika Polisi menyatakan bahwa ijazah tersebut “identik dengan pembanding,” yang seharusnya ditanyakan adalah: Apa dan siapa yang menjadi pembanding? Apakah pembanding itu sendiri otentik?


Tanpa menjelaskan asal-usul pembanding secara rinci—apakah dari Universitas Gadjah Mada (UGM), apakah dari arsip negara, atau sekadar salinan pihak ketiga.


Akhirnya pernyataan tersebut justru terkesan seperti upaya membentuk opini publik, bukan menyelesaikan perkara. 


Dengan narasi yang cenderung normatif, Polisi seolah ingin “mengelabui” ketajaman publik dengan permainan kata. 


Padahal, yang diinginkan masyarakat bukanlah kemasan narasi, tetapi substansi kebenaran.


Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada beberapa dugaan yang layak dipertimbangkan secara kritis:


Pertama, bisa jadi Polisi berada dalam tekanan politik untuk menuntaskan kasus ini dengan cepat tanpa menimbulkan gejolak besar. 


Mengingat bahwa kasus ini menyangkut “mantan” kepala negara, sensitivitasnya sangat tinggi.

Halaman:

Komentar

Terpopuler