Menara Gading Prabowo dan Bajak Sawah Gibran: Karakter Bangsa Yang Terekam Dalam Politik Populis

- Rabu, 28 Mei 2025 | 13:00 WIB
Menara Gading Prabowo dan Bajak Sawah Gibran: Karakter Bangsa Yang Terekam Dalam Politik Populis


Dan dalam kontestasi itu, Gibran sedang memoles citra sebagai pemenang — meski dalam berbagai forum, ia masih disebut-sebut sebagai “si pandir”.


Tapi justru di situlah bahayanya. Jika 2029 kelak keduanya disandingkan sebagai calon presiden — Prabowo versus Gibran — maka bukan tidak mungkin rakyat akan memilih sosok yang mereka pahami dan mereka rasakan, bukan yang mereka kagumi dari kejauhan. 


Di negeri di mana rasionalitas mudah dikalahkan oleh pendekatan populis, Gibran bisa saja menjadi manifestasi kemenangan dari politik yang sederhana namun penuh kalkulasi: berikan yang langsung dan kasatmata.


Prabowo bisa saja membangun reputasi sebagai pemikir besar, sebagai simbol keperkasaan Indonesia di panggung global. 


Tapi bangsa ini, yang tercerai-berai oleh kemiskinan pendidikan dan terbiasa hidup dalam kebijakan tambal sulam, tak selalu punya waktu atau kemampuan untuk memahami narasi besar.


Rakyat lebih membutuhkan bansos daripada konsep blue economy. Mereka lebih ingin anaknya kenyang di sekolah daripada mendengar pidato tentang keamanan maritim. 


Mereka tidak salah — mereka hanya belum sampai pada tahap bisa memilih berdasarkan visi.


Dan di situ, kegagalan pendidikan nasional selama puluhan tahun kembali menampakkan hasilnya: rakyat mudah terpikat pada sosok yang dekat, bukan yang hebat.


Jadi ketika kita bicara soal kekhawatiran, bukanlah pada Gibran secara personal letak risikonya, tetapi pada cerminan bangsa yang melihat politik sebagai hiburan atau kegiatan karitatif. 


Jika tak segera dibenahi, sistem politik ini akan terus memproduksi pemimpin berdasarkan popularitas sesaat, bukan berdasarkan kualitas kebijakan jangka panjang.


Maka, pertanyaan penting untuk 2029 bukanlah siapa yang lebih hebat antara Prabowo dan Gibran, tetapi: apakah bangsa ini sudah cukup dewasa untuk memilih pemimpin berdasarkan akal, bukan sekadar rasa kenyang?


Jika belum, maka menara gading akan kembali runtuh — bukan karena serangan musuh, tapi karena rakyatnya sendiri yang tak pernah merasa terhubung dengan yang di puncak. ***


Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar

Terpopuler