Revolusi Diam: Parpol dan Strategi Sunyi Dalam Pusaran Skandal Ijazah Jokowi dan Isu Impeachment Gibran

- Jumat, 30 Mei 2025 | 14:20 WIB
Revolusi Diam: Parpol dan Strategi Sunyi Dalam Pusaran Skandal Ijazah Jokowi dan Isu Impeachment Gibran


Siapa yang lebih dulu bersuara, bisa saja diseret ke pusaran politik, dijadikan sasaran balik oleh rezim, atau kehilangan dukungan pemilih yang masih abu-abu.


Demokrasi yang Disandera Ketakutan


Fenomena ini juga menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang mengalami penyanderaan. 


Ketika partai—yang seharusnya menjadi kanal aspirasi dan kontrol kekuasaan—lebih takut pada kekuasaan daripada membela kebenaran, maka terjadi pembusukan fungsi institusional. 


Dalam teori sistem politik Easton, input masyarakat harus diolah dan diteruskan dalam bentuk kebijakan atau sikap politik oleh lembaga formal seperti parpol. Tapi jika input itu diblokir atau diabaikan, maka sistem kehilangan legitimasi.


Lebih dari itu, keberpihakan diam ini juga menandakan bahwa partai tidak lagi menjadi pelopor moral atau intelektual bangsa, melainkan sekadar operator kepentingan elektoral. 


Mereka membaca rakyat seperti membaca peta suara: bukan sebagai manusia yang butuh keadilan, tapi sebagai angka yang bisa dimanipulasi.


Ketakutan akan Balas Dendam


Tak dapat diabaikan pula bahwa diamnya partai politik bisa disebabkan oleh kekhawatiran akan balas dendam politik. 


Jokowi masih punya cengkeraman kuat atas aparat birokrasi, aparat hukum, dan sumber daya politik lainnya. Gibran akan segera berada di jantung kekuasaan. 


Siapa pun yang frontal menyerang saat ini bisa dengan mudah dijadikan musuh negara. Dalam iklim demokrasi yang sehat, seharusnya oposisi tak perlu takut. 


Tapi Indonesia kini tengah mengalami chilling effect, di mana kritik dibungkam bukan melalui larangan resmi, tapi melalui atmosfer intimidatif yang menakutkan.


Parpol dalam Perang Dingin Politik


Jadi, saat publik bertanya-tanya: “Mengapa partai-partai politik diam seribu bahasa?” Jawaban paling jujurnya mungkin adalah: mereka sedang mempersiapkan medan perang baru. 


Mereka diam bukan karena tak tahu, tapi karena sedang menyusun ulang posisi. 


Mereka membaca, mengukur, dan menghitung. Dalam game theory, ini disebut sebagai strategi wait and see. 


Jika publik terus mendesak, dan legitimasi Jokowi atau Gibran semakin tergerus, mereka akan muncul sebagai pahlawan. Tapi jika badai ini reda, mereka tak akan kehilangan apa-apa.


Namun, pertanyaan mendasarnya tetap menggantung: sampai kapan strategi diam ini bisa bertahan? 


Dalam politik, waktu adalah musuh. Dan publik yang dikhianati tak akan selamanya tinggal diam. ***


Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar

Terpopuler