Mengapa Cak Nun Menjuluki Jokowi Firaun?

- Selasa, 10 Juni 2025 | 22:00 WIB
Mengapa Cak Nun Menjuluki Jokowi Firaun?

Di era Jokowi, kebebasan berpendapat terancam. Tokoh agama yang kritis disingkirkan, bahkan dikriminalisasi. Agama dijadikan alat politik. 


Proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara lebih menguntungkan elit, sementara rakyat digusur dan suara-suara kritis dibungkam. 


“Negara ini dikuasai oligarki,” katanya. 


“Jokowi bukan penguasa sejati, hanya pernik di tangan kekuatan besar.”


Meski dibungkam media, Cak Nun tak pernah berhenti. Ceramahnya tak lagi tayang di TV, acaranya dibatalkan, tapi rakyat tetap mendengarkan. 


Di pengajian, podcast, dan ruang-ruang kecil, suaranya tetap menggema. 


"Saya tidak takut dikriminalisasi,” ujarnya. 


“Saya takut jika rakyat terus tertipu.”


Kesadaran yang Mulai Tumbuh


Kini, di ujung 2025, topeng citra mulai runtuh. Janji tinggal janji. Utang membengkak, harga kebutuhan pokok tak terkendali, dan rakyat makin terpuruk. 


Nama Jokowi yang dulu dielu-elukan kini mulai dipertanyakan. Kata-kata Cak Nun yang dulu dianggap sinis, kini terasa seperti peringatan yang terbukti.


“Pemimpin harus ditimbang dari hasilnya, bukan gayanya,” ucapnya. 


Ia menyebut apa yang terjadi sebagai “penipuan politik terbesar dalam sejarah Indonesia”. 


Dinasti politik disiapkan, kekuasaan diwariskan. 


“Kita tidak dijajah asing, tetapi oleh anak bangsa sendiri.”


Namun di balik kekecewaan, Cak Nun tetap menyalakan harapan. 


“Bangkitlah, rakyat! Jangan lagi terbuai citra. Jangan jadi bangsa yang mudah ditipu.”


Lentera Nurani


Cak Nun bukan sekadar budayawan atau ulama. Ia adalah suara nurani yang tak pernah letih menyuarakan kebenaran saat banyak orang diam atau terlena. 


Ketika artis memuji, media membela, dan tokoh agama ikut menari di panggung kekuasaan, ia tetap bersama rakyat kecil.


Ia mengkritik karena cinta, bukan benci. Ia berbicara bukan untuk kepentingan, tapi untuk amanah. 


“Negara ini milik kita,” tegasnya. 


“Jika kita diam, kita menyerahkan masa depan anak cucu kepada yang salah.”


Pesan terakhirnya sederhana tapi menggugah: pilihlah pemimpin yang takut kepada Tuhan, yang bekerja untuk keadilan, bukan untuk pencitraan. 


Di tengah hiruk pikuk politik penuh topeng, suara Cak Nun tetap nyala—lentera yang mengingatkan: jangan tertipu lagi, karena masa depan bangsa ada di tangan kita sendiri. ***


Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar

Terpopuler