BARU TAHU! Ternyata Putusan MK Yang Mengabulkan Gibran Jadi Cawapres Tidak Pernah Disidangkan MK: Apakah Putusan Ini Sah Secara Hukum?

- Sabtu, 14 Juni 2025 | 00:25 WIB
BARU TAHU! Ternyata Putusan MK Yang Mengabulkan Gibran Jadi Cawapres Tidak Pernah Disidangkan MK: Apakah Putusan Ini Sah Secara Hukum?


Permohonan yang berubah di tengah jalan. Dokumen yang ditandatangani kuasa hukum tanpa sepengetahuan pemohon. Agenda sidang yang melompati prosedur. Mahkamah menyulap pengujian konstitusi menjadi praktik tukar-menukar pasal demi satu nama. Ini bukan sekadar kecacatan hukum. Ini amputasi terhadap akal sehat konstitusi.


Dalam demokrasi manapun, prosedur adalah rukun iman. Donald E. Lively, seorang pakar konstitusi Amerika, menyebut bahwa keabsahan pengadilan bukan ditentukan dari hasilnya, melainkan dari cara ia sampai ke hasil itu. Tanpa proses, putusan bisa sah secara administratif, tapi batal secara etis.


Mark Elliott dari Universitas Cambridge bahkan lebih lantang: “Finalitas tidak bisa menggantikan justifikasi.” Apa artinya keputusan yang tak bisa diganggu gugat, jika cara mencapainya tak bisa diterima nurani publik?


Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak sekadar mengubah teks hukum. Ia adalah peristiwa kepercayaan. Tapi dalam Putusan 90, kita kehilangan kepercayaan. Ia disusun tanpa suara rakyat, tanpa ruang kritik, dan tanpa malu-malu mengangkangi proses.


Jeremy Waldron, dalam tulisannya yang kerap dikutip banyak konstitusionalis, memperingatkan bahaya judicial review yang tak terkendali. Hakim, katanya, bukan nabi. Mereka harus tunduk pada prosedur, pada argumentasi terbuka, pada forum yang adil. Tanpa itu, pengadilan bukan penjaga hukum, tapi alat tafsir kekuasaan.


András Sajó, mantan hakim HAM Eropa, mengibaratkan pengadilan konstitusi yang melompati prosedur sebagai “alat represi yang dibungkus jubah hukum”. Bila sebuah putusan dapat dibuat tanpa sidang, maka apa bedanya pengadilan dengan dewan keluarga istana?


Yang lebih gawat, Mahkamah ini seolah lupa bahwa Indonesia memiliki konstitusi yang hidup. Dalam istilah Gary J. Jacobsohn, setiap negara memiliki constitutional identity atau jiwa konstitusinya. Indonesia tidak dilahirkan dari skenario dinasti. Ia lahir dari penderitaan rakyat, dari tekad menolak pemusatan kuasa, dari mimpi akan keadilan sosial.


Maka ketika Mahkamah Konstitusi berubah fungsi, dari penjaga konstitusi menjadi jembatan politik, maka yang disabotase bukan hanya pasal,tapi nilai dasar kenegaraan. Kita tidak hanya melihat pelanggaran prosedur, tapi perusakan simbolik terhadap seluruh arsitektur demokrasi.


Mahkamah Konstitusi kini berdiri di persimpangan sejarah. Ia bisa memperbaiki dirinya, atau menjadi halaman gelap dalam buku sejarah republik. Karena sidang yang tidak diselenggarakan bukan hanya kekeliruan administratif. Itu adalah perampokan atas hak rakyat untuk tahu, untuk melihat, untuk menyaksikan kebenaran dipertarungkan.


Jika konstitusi bisa diubah tanpa proses, maka rakyat hanya penonton dalam demokrasi. Jika pengadilan tertinggi bisa membuat hukum di ruang gelap, maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berani melawan.


Dan kalau Mahkamah Konstitusi dapat membuat putusan tanpa sidang, siapa yang bisa mencegahnya menjadi pelayan dinasti?


Nasehat Untuk Gibran Rakabuming Raka


Di ujung segalanya, ada satu peringatan filosofis yang patut direnungkan oleh mereka yang merasa telah “menang” lewat jalur konstitusi yang dipertanyakan. David Hume pernah menyindir dengan tajam: “Is does not imply Ought.” Kenyataan bahwa sesuatu telah terjadi bukan berarti seharusnya terjadi. Anda boleh jadi telah ditetapkan sebagai calon resmi bahkan menang, tapi bukan berarti Anda pantas diterima oleh rakyat.


Hans Kelsen, sang arsitek positivisme hukum, memang memisahkan norma dari moral. Tapi bahkan Kelsen mengakui bahwa legalitas yang kosong dari keadilan hanya akan mempercepat keruntuhan norma. Dalam versi moral yang lebih ketat, Immanuel Kant mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar aturan yang ditaati, melainkan prinsip yang harus dapat diuniversalisasi secara rasional dan etis. Hukum yang dijalankan dengan akal licik, hanya akan melahirkan penolakan moral.


H.L.A. Hart, dengan kerangka analitisnya yang tajam, membedakan antara hukum yang legal valid dan hukum yang legitimate. Sesuatu bisa saja “legal” sesuai dengan prosedur dalam sistem hukum positif, namun tak pernah sah dalam hati nurani publik. Inilah yang kini membayangi Gibran Rakabuming Raka.


Jürgen Habermas, dalam bukunya Between Facts and Norms (1999), menegaskan bahwa legitimasi demokrasi hanya dapat lahir dari partisipasi publik yang rasional dalam ruang diskursus yang terbuka. Hukum yang dibuat tanpa komunikasi publik, apalagi tanpa proses deliberatif, hanyalah bentuk kekuasaan yang menyamar sebagai norma. Ketika hukum berhenti melibatkan rakyat sebagai subjek deliberasi, maka hukum itu tak lebih dari alat dominasi.


Gibran, dalam hal ini, boleh jadi sah secara administratif, tapi cacat dalam komunikasi demokrasi. Ia muncul bukan dari perdebatan publik yang sehat, melainkan dari celah prosedur yang tertutup. Maka legitimasi Anda rapuh. Dan setiap langkah politik ke depan akan menanggung beban krisis kepercayaan yang tidak selesai.


Bila Wapres terus melangkah tanpa koreksi, tanpa refleksi, tanpa kepekaan terhadap rasa keadilan publik, maka bukan hanya nama Wapres yang ditolak, tapi seluruh proses demokrasi bisa runtuh bersama.


Kekuasaan yang dibangun tanpa legitimasi, hanya akan menjadi api kecil yang membakar republik dari dalam. ***

Halaman:

Komentar

Terpopuler