[ANALISIS] Pemerkosaan Massal 98 dan Upaya 'Whitewashing' Lewat Proyek Sejarah
Penulisan ulang sejarah yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan RI terus menjadi polemik.
Sebelumnya sejumlah pihak termasuk sejarawan mengkritik outline penulisan sejarah baru hanya ada dua dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM.
Beberapa peristiwa penting seperti kasus pelanggaran HAM '65 hingga penculikan di akhir Orde Baru disebut tak masuk dalam outline buku tersebut.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan proyek penulisan ulang sejarah RI yang terdiri dari 10 jilid tersebut akan membawa narasi yang lebih positif.
Terakhir Fadli Zon kembali menuai kecaman usai pernyataannya terkait tragedi pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998, tidak terbukti.
Bahkan, kata dia, laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) tak memiliki data pendukung yang solid.
Menurut Fadli, hasil laporan TGPF hanya menyebut angka, namun tanpa nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian.
Penyangkalan peristiwa perkosaan massal dalam teror Mei 1998 oleh Fadli Zon dinilai merupakan upaya untuk mendelegitimasi ingatan kolektif bangsa.
"Ini menegaskan dan membenarkan petisi saya dan teman-teman yang tergabung di AKSI (Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia) bahwa apa yang dilakukan dalam proses penulisan sejarah ini punya kecenderungan yang namanya whitewashing," ujar sejarawan Andi Achdian saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (17/6).
Whitewashing atau pemutihan merupakan tindakan menutupi atau menghapus kejahatan guna membebaskan orang yang bersalah.
Praktik tersebut sekaligus memperbaiki reputasi seseorang.
Andi meragukan akuntabilitas penulisan ulang sejarah.
Dia tidak percaya dengan klaim Fadli yang mengaku tidak akan mengintervensi proyek tersebut.
Apa yang disampaikan Fadli kemarin dengan menyangkal perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 membuktikan keraguannya tersebut.
"Statement yang dikeluarkan itu menegaskan sebuah posisi, saya tidak tahu apakah itu posisi pribadi atau posisi pemerintah ya," kata Andi.
"Bahwa ingatan kolektif itu yang ingin didelegitimasi oleh Menteri Kebudayaan dengan menyatakan tidak ada (perkosaan massal). Lalu kemudian mundur, bukan maksudnya tidak ada, seperti itulah. Itu sangat menegaskan bahwa saya tidak percaya dengan proyek penulisan ulang sejarah," sambungnya.
Andi mengatakan Fadli sudah mengabaikan kerja-kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden BJ Habibie yang menyimpulkan telah terjadi perkosaan massal di tengah peristiwa Mei 1998.
Sikap abai itu menyebarluas ke publik, kemudian menjadi polemik, hingga pada akhirnya mengaburkan sorotan utama terhadap peristiwa.
"Ini adalah pertarungan makna yang sedang diciptakan oleh Menteri Kebudayaan ya. Jadi, bukan lagi wilayah-wilayah penulisan sejarah secara mendasar yang dia klaim sebagai akademik, bebas dari intervensi, sama sekali tidak," tutur Andi.
"Ini sebuah proses untuk bagaimana negara dilepas dari tuntutan akuntabilitas. Korban kehilangan ruang legitimasi bersuara dan sebagainya," katanya.
Andi mencium aroma untuk membebaskan negara atau pemerintah dari tuntutan akuntabilitas terhadap peristiwa pelanggaran HAM masa lalu sebagaimana yang sudah disampaikan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.
Kata dia, penulisan ulang sejarah menjadi alat untuk membersihkan tanggung jawab negara.
"Ini adalah alat untuk itu," imbuhnya.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur