[ANALISIS] Pemerkosaan Massal 98 dan Upaya Whitewashing Lewat Proyek Sejarah

- Selasa, 17 Juni 2025 | 12:55 WIB
[ANALISIS] Pemerkosaan Massal 98 dan Upaya Whitewashing Lewat Proyek Sejarah

Sosiolog Ariel Heryanto dalam tulisannya bertajuk Rape, Race, and Reporting, menilai penyangkalan terhadap perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 merupakan upaya untuk mengaburkan sorotan utama terhadap peristiwa yang terjadi.


Pertanyaan penting mengenai siapa yang harus bertanggung jawab, bagaimana cara tepat untuk menangani kasus, atau apa yang dapat dilakukan negara untuk membantu dan memberi keadilan bagi para korban menjadi terlupakan.


Sebab, publik akan disibukkan oleh pembahasan apakah pemerkosaan benar-benar terjadi selama kerusuhan Mei 1998.


Heryanto mengatakan kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, termasuk dalam kategori kekerasan yang sangat berbeda dengan kekerasan fisik yang bermotif politik.


Indonesia di masa kontemporer telah menyaksikan dua insiden kekerasan politik yang dipublikasikan dengan baik, menunjukkan perbedaannya dengan jelas.


Luka-luka fisik yang dialami para aktivis korban penculikan di masa Orde Baru, di mana semuanya adalah laki-laki, dianggap sebagai tanda kepahlawanan politik. 


Luka-luka itu seolah menjadi tanda keberhasilan mereka bertahan hidup dari cobaan politik dalam memperjuangkan reformasi politik, ekonomi, dan mental yang sudah lama tertunda.


"Berbeda dengan aktivis yang disiksa, korban pemerkosaan di seluruh masyarakat cenderung merendahkan diri, menderita rasa malu yang luar biasa, dan kehilangan harga diri, terlepas dari apakah orang lain meremehkan mereka atau tidak," tulis Heryanto.


"Oleh karena itu, kasus-kasus individual pemerkosaan dan pemerkosa hanyalah bagian dari masalah. Menyalahkan atau menuntut pemerkosa saja tidak banyak membantu meringankan penderitaan korban pemerkosaan, atau mencegah kemungkinan terjadinya pemerkosaan," sambungnya.


Hapus jejak pelanggaran HAM


Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 pihak baik organisasi maupun individu memandang pernyataan Fadli mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi.


"Ia (Fadli) telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada kecenderungan untuk secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa," tulis koalisi dikutip dari laman KontraS.


Menurut koalisi, Fadli yang memimpin proyek penulisan ulang sejarah tampak ingin menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran HAM berat dari ruang publik.


"Pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998," katanya.


Alarm Publik


Alih-alih menulis ulang sejarah, menurut sejarawan Andi Achdian, ada baiknya pemerintah fokus untuk melaksanakan rekomendasi dari TGPF dan Komnas HAM.


"Saya kira lebih baik, seperti yang Anda bilang itu betul, bagus sekali bahwa fokus ke situ saja dulu. Selesaikan dulu," ucap dia.


Di samping itu, Andi mengingatkan publik untuk tetap selalu bersikap kritis.


Sebab, dia mengingatkan adagium power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely yang berarti kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup.


"Bahwa dalam membangun pengetahuan, negara tidak selamanya menjadi monopoli tafsir atas masa lalu, kita harus belajar tetap kritikal terhadap posisi-posisi itu, di mana pun dalam kehidupan masyarakat demokratis, kita harus punya hermeneutika kecurigaan," ungkap Andi.


Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendesak pembatalan pengangkatan Fadli sebagai Ketua Dewan Gelar.


Sebab, jabatan tersebut berpotensi digunakan untuk merevisi sejarah secara sepihak dan menyesatkan.


Koalisi juga menuntut agar proyek penulisan ulang sejarah yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan untuk dihentikan segera.


"Kami mendesak negara untuk menjamin pemulihan, pengakuan, pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban dan keluarga korban, serta menjadikan sejarah kekerasan Mei 1998 maupun pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa," katanya.


Sumber: CNN

Halaman:

Komentar

Terpopuler