Fokus Said Didu pada pemberantasan korupsi dan oligarki sangat menonjol.
Ia menekankan perlunya "menutup keran aliran dana ilegal" yang diperkirakan sangat fantastis, mencapai "5.000-7.000 triliun rupiah".
Dana ilegal ini, menurutnya, berasal dari berbagai sumber seperti korupsi, judi online, narkoba, dan penyelundupan.
Lebih jauh, Said Didu menyoroti keberadaan "sembilan naga" yang dianggapnya "tidak pernah berganti dan menguasai berbagai lini kekuasaan".
Ia berharap Prabowo tidak lagi menggunakan kriteria yang menguntungkan kelompok-kelompok ini, yang dinilai menghambat kemajuan bangsa.
Dalam konteks penegakan hukum, Said Didu secara khusus "mendesak Kejaksaan Agung untuk membongkar kasus-kasus besar seperti kasus laptop dan tambang yang diduga melibatkan pusat kekuasaan".
Ia bahkan menganggap Kejaksaan Agung sebagai "Kopassus" dalam pemberantasan korupsi karena dinilai memiliki konflik kepentingan yang lebih kecil dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya.
Ini menunjukkan harapan besar Said Didu terhadap peran Kejaksaan dalam membersihkan praktik-praktik kotor di lingkaran kekuasaan.
Perbaikan sistem dan regulasi juga menjadi perhatian Said Didu. Ia menekankan pentingnya "perbaikan regulasi secara paralel dengan eksekusi kebijakan".
Ia memberikan contoh perlunya "pemisahan antara lembaga yang membuat regulasi dan yang mengawasi, seperti dalam kasus SIM dan BPKB", untuk menghindari potensi konflik kepentingan.
Selain itu, "perbaikan undang-undang politik juga dianggap penting untuk menutup politik uang", sebuah fenomena yang terus-menerus merusak integritas demokrasi.
Sebagai figur oposisi, Said Didu menegaskan identitasnya sebagai "manusia merdeka" yang tidak mewakili partai atau siapa pun, melainkan "hati dan pikirannya sendiri".
Ia menyatakan kesiapannya untuk menghadapi segala risiko, bahkan "kehilangan nyawa", dalam menyuarakan kebenaran dan melawan penyimpangan.
Perjuangannya, kata Said Didu, adalah untuk negara, dan ia akan mendukung jika negara berada di jalan yang benar.
Said Didu mengakhiri pandangannya dengan menyampaikan harapan dan ketakutan terbesarnya terhadap Indonesia.
Ia berharap Prabowo menjadi "presiden yang mandiri dan bebas dari pengaruh apa pun" untuk mewujudkan visi dan misinya.
Namun, ketakutan terbesarnya adalah "hilangnya idealisme, patriotisme, dan nasionalisme," serta "pembungkaman suara kebenaran".
Ia juga mengkhawatirkan "pembajakan politik dan aparat oleh oligarki", sebuah ancaman serius terhadap kedaulatan dan keadilan.
Diskusi antara Deddy Corbuzier dan Said Didu ini secara tidak langsung menjadi pembelajaran bagi publik.
Seperti yang diungkapkan, pertemuan ini menunjukkan bahwa "perbedaan pendapat tidak harus berujung pada permusuhan pribadi".
Diskusi yang keras, menurut Said Didu, justru "penting untuk menemukan solusi terbaik bagi bangsa".
Deddy Corbuzier sendiri ingin menunjukkan bahwa berada di dalam pemerintahan tidak berarti tidak bisa mengundang oposisi atau membatasi kebebasan berbicara, sebuah pesan penting bagi kematangan demokrasi.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara