"Saat ini, Gibran belum menjadi kekuatan elektoral yang signifikan, dan posisinya sebagai RI2 di masa depan juga belum tentu aman karena tidak mewakili partai politik besar," tegas Yunarto.
Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang tinggi pada pesona dan tuas kekuasaan Jokowi.
Pertanyaan besarnya adalah: apa yang terjadi ketika Jokowi tak lagi menjadi presiden?
Tanpa 'payung' kekuasaan Istana, Gibran harus berjuang membangun basis elektoralnya sendiri, sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah di tengah kepungan partai-partai besar yang juga memiliki agenda untuk 2029.
Pergeseran Pusat Gravitasi Kekuasaan
Setelah Jokowi resmi lengser pada Oktober 2024, pusat gravitasi kekuasaan politik nasional secara otomatis akan bergeser sepenuhnya ke Prabowo Subianto sebagai presiden.
Di sinilah dinamika baru akan dimulai.
Prabowo, sebagai panglima tertinggi pemerintahan, akan mulai mengonsolidasikan kekuatannya, menempatkan orang-orang kepercayaannya, dan membangun warisannya sendiri.
Pada saat yang sama, Jokowi harus beradaptasi dengan peran barunya sebagai mantan presiden.
Upayanya untuk menjaga relevansi dan pengaruh politik, terutama demi melanggengkan jalan Gibran, berpotensi menciptakan friksi dengan pusat kekuasaan baru di bawah Prabowo.
Potensi konflik ini kemungkinan besar tidak akan muncul dalam bentuk konfrontasi terbuka.
Ia akan bermanifestasi sebagai persaingan pengaruh, perebutan sumber daya politik, dan pembentukan poros-poros kekuatan yang saling berhadapan menjelang 2029.
Panggung politik Indonesia akan menjadi saksi bisu pertarungan antara kekuatan petahana yang dibangun Prabowo melawan kekuatan warisan yang coba dipertahankan oleh Jokowi untuk Gibran.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Mendesak Evaluasi! Menteri Hukum Supratman Kini Jadi Sorotan
Waspada! Utang Proyek Kereta Cepat Warisan Jokowi Bisa Jadi Beban Berat Pemerintah
Menhut Raja Juli Tantang Jokowi Soal Ijazah Asli Saat Pidato di UGM, Begini Faktanya
Jokowi Dinilai Belum Siap Lepas Jabatan, Benarkah Jadi Mantan Presiden Terberat?