POLHUKAM.ID - Pada pertengahan Juli 2001, muncul berita liar soal Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Agum Gumelar dan Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail untuk menangkap dua petinggi Polri.
Dua petinggi Polri yang dimaksud adalah Kapolri nonaktif Suroyo Bimantoro dan Kapolda Metro Jaya Sofyan Jacob.
Gus Dur selaku Presiden RI menganggap keduanya telah bertindak berlebihan dan melakukan pembangkangan.
“Untuk itu, presiden perintahkan Menko Polsoskam Agum Gumelar dan Wakapolri [Chaeruddin Ismail] untuk mengambil tindakan tegas secara hukum terhadap pelaku-pelaku insubordinasi,” ucap Juru Bicara Kepresidenan kala itu, Yahya Cholil Staquf, di Jakarta, seperti dilansir Liputan6 (13 Juli 2001).
Gus Dur lantas memberi keterangan bahwa perintah penangkapan itu adalah pelintiran media yang tak paham persoalan.
Gus Dur mengakui memang ada beberapa orang memberi usul kepadanya agar Bimantoro ditangkap.
Ia lantas membicarakan usul itu kepada Agum yang lalu menolaknya. Entah bagaimana pembicaraan itu dipelintir sebagai perintah penangkapan.
"Tetapi, kemudian dipelintir oleh pers bahwa penangkapan itu atas perintah saya. Padahal saya hanya usul kepada Pak Agum Gumelar ada sementara orang yang menghendaki adanya usul penangkapan itu. Tetapi Pak Agum tidak menghendaki itu, masih ada cara lain untuk menyelesaikan di tubuh Polri," terang Gus Dur sebagaimana dikutip harian Kompas (14 Juli 2001).
Meski demikian, Gus Dur membenarkan bahwa ia menilai Bimantoro melakukan insubordinasi dan perlu ditindak secara hukum.
"Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik Sosial dan Keamanan Pak Agum Gumelar supaya diambil tindakan, karena ini pelanggaran undang-undang. Tindakan hukum perlu diberlakukan untuk Bimantoro. Tetapi, semua ini dipelintir oleh pers, akan dilakukan penangkapan kepada Bimantoro," tegasnya.
Berita ini membuat geger publik lantaran menyeruak saat kepemimpinan Gus Dur sedang menghadapi tekanan serius dari DPR.
Sejak awal 2001 posisi politik Gus Dur berada di titik nadir gara-gara dikaitkan dengan dua skandal: tuduhan terlibat dalam penyelewengan dana Bulog (Bulog Gate) dan bantuan Kerajaan Brunei untuk Aceh (Brunei Gate).
Dua skandal ini amat merusak reputasinya, kendati banyak orang tak percaya Gus Dur korupsi.
Para oposannya di DPR memanfaatkan skandal ini untuk melengserkan Gus Dur dari kursi presiden.
Pada Februari dan Mei 2001 DPR melayangkan dua memorandum untuk memojokkan Gus Dur.
Meskipun terkesan dipaksakan, memorandum ini membuka peluang pada pemakzulan Gus Dur melalui Sidang Istimewa MPR.
“Jika presiden dianggap tidak sungguh-sungguh memperhatikan Memorandum tersebut, DPR akan meminta MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa (SI). [...] Jika DPR meminta diadakan SI oleh MPR, maka SI itu baru dapat terlaksana dua bulan kemudian,” tulis Virdika Rizky Utama dalam Menjerat Gus Dur (2020, hlm. 272).
Di tengah konflik yang kalut itu, alih-alih bersikap hati-hati, Gus Dur justru membuka polemik baru dengan Polri.
Sejarah mencatat, konflik ini memicu MPR mempercepat pelaksanaan Sidang Istimewa untuk memakzulkan Gus Dur.
Bulan Madu Singkat
Jenderal Polisi Surojo Bimantoro mulanya adalah Kapolri pilihan Gus Dur yang diangkat pada 23 September 2000.
Tapi, baru sebulan menjabat, Bimantoro sudah berseberangan dengan Gus Dur dalam soal pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua.
Gus Dur yang menganggap bendera itu sebagai bagian dari kultur Papua membolehkan pengibarannya asal berdampingan dengan bendera Merah Putih, sedangkan Bimantoro tak mau menoleransinya.
“Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana,” tulis majalah Tempo (22 Juli 2001).
Perbedaan pendapat dalam penanganan masalah macam ini terus berulang dan memperburuk hubungan keduanya dari waktu ke waktu. P
olri, misalnya, membuat pusing Istana gara-gara kasus penipuan terhadap sebuah perusahaan asuransi Kanada yang berlarut-larut.
Perusahaan Kanada ini mulanya melaporkan penipuan ini ke polisi tapi justru mereka yang diinvestigasi dan dua eksekutifnya ditahan.
Kasus ini berimbas pada memburuknya hubungan diplomatik Indonesia-Kanada. Penuntutan kasus ini baru berhenti setelah Menteri Luar Negeri Alwi Shihab dan Jaksa Agung Marzuki Darusman turun tangan.
Greg Barton, penulis Biografi Gus Dur (2017), menyebut Gus Dur amat terganggu oleh keterlibatan Bimantoro dalam kasus ini.
“Bimantoro, sebagai Kapolri, bukan saja mengetahui penangkapan ini, tetapi tampaknya ia juga mempunyai kepentingan dalam perkara ini,” tulis Barton (hlm. 477).
Artikel Terkait
DPR Kena Prank! Dana Reses Rp702 M Bikin Tak Sedih Tunjangan Rumah Dihapus
Prabowo vs Geng Solo: Momen Penegakan Hukum yang Dinanti Rakyat
Profesor Ikrar Bongkar Bahaya Legacy Jokowi: Syarat Wapres RI Hanya Lulusan SD?
Ijazah Jokowi & Gibran Dikritik Iwan Fals: Bagaimana Jika Ternyata Palsu?