Kendati buktinya sumir, kecurigaan terhadap Bimantoro itu beralasan lantaran bukan kali itu saja ia dianggap korup.
Dalam bukunya Virdika menjabarkan bahwa Indonesian Corruption Watch (ICW) menengarai Bimantoro terlibat penggelembungan harga pembelian senjata jenis AK dari Rusia. Jumlahnya mencapai Rp 49,9 miliar.
Pembelian senjata AK pun secara prinsip menyalahi proses demiliterisasi Polri yang berjalan sejak Juli 2000.
Pasalnya, AK merupakan senjata standar tempur yang seharusnya hanya boleh untuk tentara. Sudah begitu, pembelian itu juga dilakukan secara diam-diam.
“Pembelian itu dilakukan tanpa meminta izin presiden, tetapi hanya dengan meminta persetujuan wapres. Ini jelas mengadu domba presiden dan wapres,” tulis Virdika (hlm. 289).
Puncak perseteruan Gus Dur dengan Bimantoro terjadi di sekitar terbitnya memorandum kedua DPR. Langkah politik DPR ini memicu protes dari pendukung Gus Dur.
Gerakan protes paling kuat terasa di Jawa Timur yang memang menjadi basis Nahdlatul Ulama (NU) dan pendukung Gus Dur. Meskipun sebagian besar protes berjalan damai, beberapa insiden kecil tetap terjadi.
Dalam sebuah demonstrasi di Pasuruan, seorang pendukung Gus Dur tewas tertembak oleh polisi. Insiden itu membuat Gus Dur meradang dan menuding Kapolri Bimantoro tak becus mengarahkan personelnya dalam menangani demonstrasi.
Di titik ini Gus Dur tak bisa lagi menoleransi Kapolri Bimantoro dan lantas menonaktifkannya pada Mei 2001.
Membuka Jalan Pemakzulan
Masalah menjadi gawat karena Bimantoro menolak penonaktifan dengan alasan Presiden tak bisa menonaktifkannya begitu saja tanpa berkonsultasi dengan DPR. Ia bahkan mencari dukungan dari Ketua DPR Akbar Tanjung dan Ketua MPR Amien Rais.
Sementara itu, Gus Dur segera melantik Inspektur Jenderal Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri yang diproyeksikan untuk mengambilalih tugas-tugas Bimantoro.
Langkah Gus Dur ini sebenarnya melabrak aturan yang ia terbitkan sendiri. Pasalnya, jabatan Wakapolri itu sudah dihapusnya melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001.
Gus Dur lalu menerbitkan Keppres No. 77/2001 pada 21 Juni untuk melegalkan pengangkatan Chaerudin.
“Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri. Masalah Polri ini semakin berlarut-larut. Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia,” tulis majalah Tempo.
Langkah “ugal-ugalan” ini tak ayal menciptakan dualisme kepemimpinan dalam institusi Polri. Tak hanya itu, kesalahan ini juga memperuncing perseteruan Presiden dengan DPR.
Gara-gara ini DPR jadi punya alat untuk mendesakkan pelaksanaan SI MPR untuk memakzulkan Gus Dur.
Tujuh fraksi DPR langsung menyambut pengumuman Gus Dur itudengan protes. Ketujuh fraksi itu adalah oposan Gus Dur, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Fraksi Reformasi, PDU, PBB, dan KKI.
Mereka menilai kebijakan Gus Dur sebagai “pelanggaran haluan negara secara berulang yang dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan negara”.
“Untuk mencegah berulangnya hal yang berkaitan dengan pelanggaran haluan negara yang telah beberapa kali terjadi selama ini, serta dalam rangka penyelamatan bangsa dan negara, katanya, tujuh fraksi menyampaikan pertimbangan kepada MPR untuk sesegera mungkin melakukan SI MPR,” tulis harian Kompas (3 Juli 2001).
Sementara dalam wawancara dengan Tempo, Bimantoro menyatakan ia menerima keputusan Presiden, tetapi menekankan bahwa pemberhentiannya “harus menempuh prosedur yang benar”.
Bimantoro juga sempat dikabarkan menggelar “rapat politik” dengan beberapa purnawirawan polisi dan penasihat hukum di rumah dinasnya. Konon, rapat itu membahas kemungkinan pengajuan judicial review ke Mahkamah Agung terkait pemberhentiannya.
Bimantoro tak menyanggah adanya pertemuan tersebut, tapi menolak disebut sebagai rapat politik. Ia juga menegaskan bahwa rencana judicial review bukan berasal darinya. Menurutnya, ide itu sejak awal datang dari purnawirawan yang berkonsultasi kepadanya.
"Saya katakan pada mereka sejak awal saya tak ingin menempuh judicial review. Tapi saya kan tak bisa menghalangi mereka," ujar Bimantoro sebagaimana dikutip Liputan 6 (16 Juli 2001).
Judicial review itu pada akhirnya benar-benar diajukan ke MA oleh beberapa purnawirawan Polri. Dari kejadian inilah berita liar soal pembangkangan Bimantoro dan perintah penangkapan berembus.
Gus Dur bahkan bertindak lebih jauh dengan melantik Chaerudin sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kapolri pada 20 Juli 2001.
Langkah itu harus dibayar mahal oleh Gus Dur, karena memicu pimpinan MPR mempercepat Sidang Istimewa. Gus Dur sempat membentuk tim yang dipimpin Menko Polsoskam Agum Gumelar dan Menhan Mahfud MD untuk melobi pimpinan MPR.
Namun lobi-lobi tim ini gagal membendung keputusan MPR. Pada 23 Juli, MPR menggelar Sidang Istimewa yang akhirnya memutuskan untuk melengserkan Gus Dur.
Selanjutnya Megawati Sukarnoputri dipilih sebagai presiden menggantikan Gus Dur. Peruntungan pun membawa Bimantoro kembali menduduki kursi Kapolri. Mengakhiri pula dualisme kepemimpinan yang sempat terjadi dalam institusi Polri.
“Presiden Megawati Soekarnoputri memutuskan Jenderal (Pol) Surojo Bimantoro sebagai Kepala Polri definitif dan menghapus jabatan Wakil Kepala Polri. Presiden juga mencabut status Jenderal (Pol) Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kepala Polri,” lapor Kompas (4 Agustus 2001).
Sumber: TIRTO
Artikel Terkait
DPR Kena Prank! Dana Reses Rp702 M Bikin Tak Sedih Tunjangan Rumah Dihapus
Prabowo vs Geng Solo: Momen Penegakan Hukum yang Dinanti Rakyat
Profesor Ikrar Bongkar Bahaya Legacy Jokowi: Syarat Wapres RI Hanya Lulusan SD?
Ijazah Jokowi & Gibran Dikritik Iwan Fals: Bagaimana Jika Ternyata Palsu?