Terbaru, Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mardani H. Maming turut jadi terget. Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait perpanjangan dan penerbitan Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel).
"Mardani mungkin kurang begitu populer. Namun, dirinya cukup terkenal di kalangan pebisnis dan elite politik," kata Research Director of IndoNarator, Harsam kepada wartawan di Bandung, Rabu (16/6/2022) malam.
Harsam menngungkapkan sebelum didapuk menjadi bendum PBNU periode 2022-2027, pria berusia 40 tahun itu sempat jadi Bupati Tanah Bumbu dua periode (2015/2016-2018). Selama menjabat Bupati Tanah Bumbu, Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2019-2022 itu memang jauh dari sorotan berita miring.
Kabar miring mengenai dirinya baru mulai mencuat usai ditunjuk sebagai bendum PBNU. Tepatnya, ketika eks Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo didakwa bersalah atas kasus gratifikasi dari mantan direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN).
"Bermula dari perkara hukum yang menyeret Dwidjono, KPK lalu mengejar saksi lainnya, termasuk Mardani untuk dimintai keterangan seputar kasus suap itu," katanya.
Alhasil, dari penelurusan kasus itu, Mardani pun akhirnya disebut turut menerima uang suap berdasarkan keterangan yang disampaikan Dwidjono dalam sidang pembacaan nota pembelaannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin pada Senin, (13/6/2022) lalu.
Di balik kabar tak sedap yang menimpa dirinya, muncul pendapat pro-kontra di kalangan pengamat. Ada yang menduga pelibatan Mardani dalam kasus tersebut tak lain karena motif bisnis.
Hal ini dilontarkan pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana saat mengomentari berita miring yang menerpa Mardani. Bahkan, menurutnya, perkara yang menyeret Mardani merupakan hal yang lumrah terjadi di Kalsel. Ia pun meyakini bahwa kasus yang dialami bendum PBNU itu murni kriminalisasi.
"Denny juga menilai para kompetitor bisnis biasanya bermain dalam kasus tersebut dengan tujuan mengambil bisnis dari korban kriminalisasi," jelas Harsam.
Menanggapi kondisi tersebut, Harsam menilai apa yang dilontarkan Denny ini mampu memicu pertanyaan lebih lanjut. "Dengan kata lain, jika bendum PBNU itu benar dikriminalisasi, apa saja modus operandi untuk menjegal Mardani? Apakah hanya sebatas ingin men-takeover bisnis korban, atau ada setting agenda lain yang perlu dikuak lebih dalam?" ungkapnya.
Harsam mengatakan masyarakat perlu bijaksana dalam melihat kasus tersebut. Artinya, harus dilihat dalam dua sisi, yakni sisi hukum dan sisi politik. Dari sisi hukum, dugaan kasus korupsi yang menyeret Mardani berdasarkan sejumlah keterangan yang disampaikan para saksi, biarkan itu diproses secara hukum.
Namun, di balik itu semua ada persoalan politik yang juga perlu diinterpretasikan lebih jauh. Menimbang, kasus Mardani berkorelasi dengan posisi PBNU pada hajatan elektoral 2024.
"Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar yang punya pengaruh signifikan terhadap Pemilu mendatang, PBNU besar kemungkinan ikut tertelungkup imbas dari kasus tersebut," katanya.
"Hal yang dapat dibaca dari perersoalan ini tak lain dan tak bukan adalah bentuk tak kasat mata dari operasi invisible hand yang ikut masuk dalam agenda kontestasi elektoral 2024," sambungnya.
Artikel Terkait
DPR Kena Prank! Dana Reses Rp702 M Bikin Tak Sedih Tunjangan Rumah Dihapus
Prabowo vs Geng Solo: Momen Penegakan Hukum yang Dinanti Rakyat
Profesor Ikrar Bongkar Bahaya Legacy Jokowi: Syarat Wapres RI Hanya Lulusan SD?
Ijazah Jokowi & Gibran Dikritik Iwan Fals: Bagaimana Jika Ternyata Palsu?