POLHUKAM.ID - Dalam politik Indonesia pasca-Pemilu, satu hal yang paling menonjol bukan hanya soal siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana kuasa itu didistribusikan.
Gerindra, PDI-P, TNI, dan Polri menjadi simpul penting dalam peta kekuasaan yang sedang digambar ulang oleh Presiden Prabowo.
Sejak awal, Prabowo mencoba merangkul sebanyak mungkin pihak.
Ia merapat ke lingkaran Solo dengan simbol politik kebersamaan, sekaligus memainkan kartu internasional lewat pidato mendukung Palestina yang memikat kelompok Islam.
Namun, tantangan utamanya ada di dalam negeri: bagaimana menjaga keseimbangan antara TNI dan Polri, serta bagaimana mengelola relasi dengan partai besar seperti PDI-P yang merasa kehilangan akses langsung ke lingkar kekuasaan.
TNI, yang sejak lama merasakan dirinya dibatasi oleh peran dominan Polri dalam urusan keamanan dalam negeri, tampak melihat peluang baru.
Isu yang beredar, bahkan sampai ke wacana ekstrem bahwa Panglima TNI bisa mengambil alih fungsi Kapolri, memperlihatkan ketegangan laten yang tak pernah benar-benar hilang.
Kompromi Jadi Kunci
Bagi Prabowo, situasi ini dilematis. Jika TNI terlalu dominan, muncul kesan bahwa presiden tak mampu menyeimbangkan sipil-militer.
Jika Polri tetap kuat, kecurigaan TNI bahwa mereka “dipasung” bisa semakin besar.
Sementara itu, PDI-P menanggung beban politik karena dinilai kurang loyal pada pemerintahan baru.
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara