Akankah Amerika Serikat Take Over Indonesia Lewat Pemilu 2024? Ada Capres Endorse?

- Rabu, 01 Juni 2022 | 15:20 WIB
Akankah Amerika Serikat Take Over Indonesia Lewat Pemilu 2024? Ada Capres Endorse?

Research Director of IndoNarator, Harsam mengungkapkan banyak figur potensial belakangan mulai bermunculan. Namun, tak satu pun di antara nama-nama yang menghiasi bursa pencapresan dipastikan memenangi kontestasi elektoral. Pasalnya, banyak variabel yang harus dihitung, termasuk intervensi asing.

"Kepentingan asing di Pemilu 2024 dipastikan berlangsung sengit, menimbang momentum electoral politics akan datang tidak sekadar memilih sosok pengganti Jokowi," kata Harsam dalam keterangan resminya, Rabu (1/6/2022).

Baca Juga: Bantah Pembuatan KTP-el WNA untuk Kepentingan Pemilu, Ini Penjelasan Dukcapil Kemendagri

Pemilu 2024 dinilai sebagai momentum penting bagi negara berkepentingan, terutama Amerika Serikat (AS) untuk melancarkan misi besarnya. AS dinilai nyaris tidak pernah absen dalam menancapkan kepentingannya di balik perhelatan Pemilu yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia. Bahkan, dalam sejarahnya mereka selalu mencoba mengintervensi pemilihan presiden sebanyak 81 kali antara tahun 1946 hingga 2000. 

Untuk kasus Indonesia, intervensi tersebut bahkan bukan jadi rahasia umum lagi. Sejak era kepemimpinan Soekarno, AS terbilat aktif dalam memengaruhi sistem perpolitikan nasional, termasuk intervensi terhadap penyelenggaraan Pemilu yang berlangsung dari waktu ke waktu.

Selain itu, lanjut Harsam, dengan mengutip Ekonom senior, Kwik Kian Gie menyatakan secara gamblang mengungkapkan intervensi AS itu dilakukan melalui berbagai modus, termasuk memanfaatkan para pejabat untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Dubes AS di Indonesia untuk bertemu langsung dengan para kandidat dan tokoh-tokoh nasional dalam jamuan-jamuan khusus.

Baca Juga: Jokowi Mau Pengadaan Logistik Pemilu Gunakan Produk Dalam Negeri, Ini Kata KPU

"Bertolak pada kenyataan tersebut, apakah AS akan men-take over Indonesia melalui Pemilu 2024?," ungkapnya.

Menurutnya, dari sekian alasan mengapa AS terlibat aktif dalam foreign elections ditengarai karena dua alasan, yakni melawan komunisme dan membendung dominasi Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Sementara itu, berdasarkan pernyataan Nina Agrawal dalam The U.S. is No Stranger to Interfering in the Elections of Other Countries, menulis, salah satu agenda utama AS yakni mengintervensi Pemilu di sejumlah negara, utamanya selama Perang Dingin dimotivasi oleh perang melawan komunisme.

Ternyata, bagi AS, komunisme adalah musuh besar yang harus diperangi sampai ke akarnya. Dengan begitu, setiap negara yang menganut ideologi komunisme sudah pasti menjadi musuh bahkan termasuk musuh dunia itu sendiri.

Selain menegakkan demokrasi, kepentingan besar AS terhadap Pemilu di negara-negara demokrasi, termasuk dalam hal ini Pemilu 2024 di Indonesia, adalah untuk memperluas wilayah hegemoninya. 

"Kita ketahui bersama bahwa pasca-Perang Dingin, kekuatan hegemoni dunia tidak lagi berbentuk unipolar (mengandalkan satu kekuatan tunggal), dengan US [AS] sebagai satu-satunya negara adikuasa. Kebangkitan China tentu menjadi ancaman tersendiri bagi US dewasa ini," jelasnya.

Baca Juga: Berharap Ada Tiga Paslon di Pilpres 2024, Pengamat: Semoga Tidak Ada Parpol Lain yang Masuk KIB

Ancaman baru ini membuat AS dan sekutunya harus mendesain ulang basis kekuatan baru demi mengimbangi pengaruh Tiongkok dalam berbagai dimensi. Dengan bergesernya peta kekuatan geopolitik baru ke kawasan Asia Pasifik–khususnya di kawasan Indo-Pasifik–memaksa AS harus sesegera mungkin menemukan kawan baru demi mempertahankan dominasinya.

Motivasi mencari partner baru di kawasan Pasifik ini mendorong AS berkepentingan besar terhadap apapun agenda politik, ekonomi, dan pertahanan di kawasan ini. Apalagi, situasi keamanan di kawasan Indo-Pasifik belakangan sedang mengalami eskalasi konflik akibat arogansi Tiongkok atas klaim nine dash line (Sembilan garis putus-putus).

Wilayah sengketa ini mengundang perselisihan lantaran di dalamnya terdapat cadangan sumber daya alam melimpah yang menjadi daya tarik. 

Baca Juga: Siapa Capres NasDem di Pilpres 2024?

"Kawasan ini juga merupakan wilayah strategis untuk dibangun pangkalan militer bagi negara berkepentingan untuk mengontrol jalur perdagangan dunia," ujarnya.

Harsam pun kembali mengutip pernyataan James Di Pane dalam tulisannya, Why this Dispute in South China Sea Matters to America menyatakan, AS sendiri memandang agresi Tiongkok untuk menguasai kawasan ini sebagai problem serius lantaran membawa dampak negatif terutama bagi kepentingan perdagangan global. 

"Ini cukup beralasan, menimbang wilayah perselisihan ini memfasilitasi sepertiga dari jalur perdagangan ekonomi dunia," katanya.

Hal tersebut senada dengan Swaine dalam America's Security Role in the South China Sea, yang mengatakan, terdapat tiga alasan mengapa AS tertarik untuk terlibat dalam perselisihan ini. Pertama, kawasan ini merupakan bagian dari rute transit utama untuk lalu lintas komersial maritim ke dan dari Asia Timur dan untuk Angkatan Laut AS. 

Kedua, sengketa kepemilikan banyak pulau kecil, terumbu karang, dan bebatuan di antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN, termasuk sekutu terdekat AS, Filipina, menimbulkan ketegangan yang dapat mengakibatkan konflik dan ketidakstabilan. Ketiga, Tiongkok pada akhirnya dapat menggunakan pengaruhnya yang berkembang di kawasan itu untuk menciptakan lingkup pengaruh yang merugikan kepentingan AS kini dan akan datang.

Lebih lanjut, kata Harsam, mengutip pernyataan resmi pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri, bahwa posisi AS dalam perselisihan di Laut Natuna Utara ini tegas menolak klaim sepihak Tiongkok dan menganggap apa yang dilakukannya sebagai bentuk pelanggaran hukum itu sendiri. 

Baca Juga: Anies, Ganjar, Puan, Airlangga Belum Jelas di Pilpres 2024, Desmond Gerindra: Hanya Prabowo!

Bagaimana tidak, klaim Tiongkok atas 90 persen dari wilayah seluas 2 juta kilometer persegi yang yang membentang sejauh 2.000 km dari daratan Tiongkok hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam itu memicu eksalasi konflik di kawasan itu sejak beberapa waktu belakangan.

"Indonesia sendiri sebetulnya menghadapi ancaman serius di balik klaim sepihak negeri Tirai Bambu itu," ungkapnya.

Pasalnya, Indonesia yang selama ini menganggap kawasan di ujung selatan Laut China Selatan yang pada 2017 silam menamainya Laut Natuna Utara itu sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan putusan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dengan demikian, bagi Indonesia, Laut Natuna Utara merupakan wilayah kedaulatan NKRI yang harus dibela hingga tetes darah penghabisan. 

Halaman:

Komentar

Terpopuler