Kebijakan Ruwet Prabowo: Jadi Polemik Dulu, Dibatalkan Kemudian!

- Jumat, 14 Februari 2025 | 16:25 WIB
Kebijakan Ruwet Prabowo: Jadi Polemik Dulu, Dibatalkan Kemudian!

POLHUKAM.ID - Pelaksanaan efisiensi anggaran pun telah diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025 yang kemudian diturunkan dalam yang menetapkan pemangkasan dengan persentase bervariasi pada 16 pos-pos belanja K/L.


Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 rupanya memunculkan dampak yang cukup besar dan meluas. 


Melalui Surat Edaran (SE) Menteri Keuangan Nomor S-37-MK.02/2025, kebijakan Presiden Prabowo Subianto itu diimplementasikan dengan pemangkasan anggaran pada 16 pos belanja kementerian atau lembaga (K/L) dengan persentase bervariasi.


Beberapa waktu belakangan, media massa dan media sosial terus diramaikan dengan kabar-kabar terkait dampak pemangkasan anggaran di berbagai instansi pemerintahan. 


Beberapa instansi dikabarkan mulai membatasi fasilitas kantornya. Sebagian instansi lain bahkan terpaksa merumahkan pekerja honorernya.


DPR RI pun, mulai Rabu (12/2/2025), sedang sibuk menggelar rapat-rapat kerja dengan mitra pemerintah untuk menindaklanjuti kebijakan efisiensi anggaran belanja K/L.


Mitra-mitra yang dipanggil DPR RI meliputi Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), hingga Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI).


Lalu, Kamis (13/2/2025), DPR RI kembali memanggil beberapa menteri Kabinet Merah Putih. 


Di antaranya Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Menteri Perdagangan, Menteri Pertahanan, Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Panglima TNI, hingga Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).


Yang menarik, rapat-rapat kerja tersebut digelar untuk membahas agenda “rekonstruksi anggaran” belanja APBN 2025. 


Mengapa DPR memakai istilah “rekonstruksi anggaran” dan bukan “efisiensi anggaran” dalam raker tersebut?


Istilah rekonstruksi anggaran itu muncul dalam surat edaran yang dikeluarkan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. 


Surat edaran tersebut menyatakan bahwa seluruh agenda rapat efisiensi anggaran ditunda hingga proses rekonstruksi anggaran rampung. 


Hal itu dilakukan agar pembahasan soal anggaran belanja K/L berjalan lebih efektif dan efisien.


“Artinya, menunggu kesiapan pihak pemerintah sebagai mitra komisi agar tidak berulang kali rapat terkait anggaran. Lebih baik menunggu rekonstruksi anggaran dari pemerintah selesai dalam waktu dekat," kata Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Jazilul Fawaid, saat dihubungi Tirto, Senin (10/2/2025).


Melalui surat edaran yang disebarkan kepada seluruh pemimpin komisi di DPR pada Senin (11/2/2025), Dasco menyiratkan bahwa pemerintah tak lagi melakukan efisiensi, melainkan rekonstruksi anggaran.


Sebagai informasi, yang dimaksud rekonstruksi anggaran adalah perombakan atau penyusunan kembali anggaran yang sudah dirancang. 


Sementara itu, efisiensi anggaran ialah upaya untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan dengan menggunakan sumber daya yang ada secara optimal.


Terlepas dari pengertiannya, anggota Komisi XI DPR RI, Wihadi Wijanto, menjelaskan bahwa rekonstruksi dilakukan agar pemangkasan anggaran tepat sasaran. Sehingga, belanja K/L dapat tetap dioptimalkan untuk melayani masyarakat.


“Dengan efisiensi itu, dengan dinamika yang ada, maka diminta ada rekonstruksi lagi. Agar ini tidak mengganggu layanan kepada masyarakat,” ujar Wihadi kepada awak media di KompleksDPR-MPR, Rabu (12/2/2025).


Dibuat lalu Dianulir


Beberapa hari sebelum soal rekonstruksi anggaran tersebut ramai, masyarakat sempat dihebohkan oleh polemik kelangkaan LPG 3 kilogram (kg). 


Usut punya usut, kelangkaan itu disebabkan oleh kebijakan anyar yang dikeluarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, terkait distribusi gas bersubsidi.


Bahlil bikin regulasi bahwa per 1 Februari 2025, penjualan LPG 3 kg yang hanya boleh dilakukan oleh pangkalan. Artinya, LPG 3 kg tak bakal bisa dibeli di toko atau warung pengecer.


Kebijakan itu sempat membuat gas tabung melon langka di pasaran. Di berbagai daerah, masyarakat harus antre untuk membeli gas tabung melon dan parahnya menimbulkan satu korban jiwa di Tangerang Selatan.


Seiring dengan semakin panasnya masalah kelangkaan LPG 3 kg, Presiden Prabowo turun tangan menginstruksikan Bahlil untuk mengizinkan pengecer kembali menjual gas LPG 3 kg.


Menurut Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, kebijakan yang diterbitkan Bahlil itu “diputuskan tanpa sepengetahuan presiden”.


"Sebenarnya ini bukan kebijakannya dari Presiden untuk kemudian melarang kemarin itu," kata Dasco di Kompleks Parlemen (4/2/2025).


Perubahan kebijakan seperti dua kasus tersebut ternyata juga terjadi pada pengujung 2024. 


Pada 31 Desember 2024, Prabowo mengumumkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya berlaku untuk kelompok barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat golongan atas.


Pengumuman tersebut menganulir kebijakan tarif PPN 12 persen untuk seluruh barang (kecuali minyak goreng curah dengan merek MinyaKita, tepung terigu, dan gula industri) yang sebelumnya diumumkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani.


“Yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah. Yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, masyarakat mampu. Contoh, pesawat jet pribadi. Itu tergolong barang mewah yang dimanfaatkan masyarakat papan atas. Kemudian, kapal pesiar, motor yacht, kemudian rumah sangat mewah,” ujar Prabowo di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (31/12/2024).


Presiden Prabowo juga mengatakan bahwa kebijakan itu diambil karena pemerintah mempertimbangkan dampak kebijakan perpajakan terhadap daya beli masyarakat, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. 


Lebih penting lagi, kebijakan perpajakan harus didasarkan pada kepentingan rakyat banyak.


“Komitmen kami adalah selalu berpihak kepada rakyat banyak, berpihak kepada kepentingan nasional, dan berjuang dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat,” imbuh dia.


Kabinet Mesti Dievaluasi


Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai sikap Prabowo yang selalu menganulir kebijakan pemerintahannya usai menjadi kontroversi dan menuai penolakan masyarakat.


Dalam hal ini, Prabowo seolah berperan sebagai pemadam kebakaran yang memadamkan kobaran api kebijakan yang dibuat oleh para pembantunya di Kabinet Merah Putih.


“Jadi, kan, udah terbakar nih [masyarakat dengan kebijakan yang dirilis pemerintah]. Di mana-mana viral. Akhirnya, balik lagi Pak Prabowo yang nyiram airnya supaya enggak terbakar lebih hebat. Jadi, dia sebagai pemadam kebakaran tadi,” kata Agung saat dihubungi, Kamis (13/2/2025).


Agung sangat menyayangkan hal itu. Menurutnya, tujuan Prabowo dalam meramu kebijakan adalah baik, tapi bisa jadi ia salah dalam hal eksekusi.


Dalam konteks kebijakan efisiensi anggaran, misalnya, Agung menilai Prabowo hanya memerintahkan agar K/L melakukan penghematan pada pos-pos belanja yang tak esensial, seperti perjalanan dinas, acara seremonial, hingga pengadaan alat tulis kantor (ATK).


Namun, instruksi tersebut salah diterjemahkan sehingga pos-pos belanja produktif, seperti anggaran infrastruktur hingga bantuan pemerintah, turut terkena efisiensi. 


Hal itu diperburuk oleh kegagapan orang-orang di sekeliling Prabowo membaca danmerespons situasi, termasuk Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) dan humas-humas kementerian.

Halaman:

Komentar

Terpopuler