“Makanya, yang dibilang Pak Prabowo itu ada raja-raja kecil. Problemnya sebenarnya bukan Pak Prabowo, tapi ada pembangkangan yang dilakukan oleh birokrasinya,” imbuh dia.
Tidak hanya itu, Agung juga menilai bahwa Kabinet Merah Putih yang gemuk itu mengalami disfungsi.
Menteri-menteri Prabowo seakan punya kecenderungan membuat kebijakan dalam waktu singkat tanpa mempertimbangkan dampaknya, terlebih yang bersinggungan dengan masyarakat.
Kemudian, dengan adanya lebih dari 112 orang di Kabinet, membuat miskoordinasi menjadi sebuah keniscayaan.
Menurut Agung, kabinet yang terlalu gemuk tak punya nilai positif. Oleh karena itu, Agung merekomendasikan agar Prabowo melakukan perampingan postur kabinet.
Setidaknya, Presiden dapat memangkas jumlah K/L menjadi seperti jumlahnya di masa presiden-presiden terdahulu.
“Kalau memang terbukti kementerian itu lemot, lelet, enggak jelas [kinerjanya], sudah tidak bisa dipertahankan. Itu tiga bulan ke depanlah ya, bisa dilihat lagi kinerja K/L. Karena, kalau Pak Prabowo tiap waktu harus memadamkan [masalah], itu akan menggerus energi beliau,” imbuh Agung.
Sementara itu, menurut ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, keruwetan dalam implementasi kebijakan itu mencerminkan dua sisi karakter pemerintahan Prabowo yang saling berlawanan.
Di satu sisi, Prabowo dilihat sebagai seorang pemimpin yang responsif terhadap suara rakyat.
Ketika membatalkan kebijakan-kebijakan yang ternyata mendapat penolakan luas, masyarakat menilai bahwa Prabowo tidak bersikap otoriter atau memaksakan suatu kebijakan.
“Ini mencerminkan sifat kepemimpinan yang fleksibel, demokratis, dan mau beradaptasi dengan realitas di lapangan,” ujar Achmad, Kamis (13/2/2025).
Namun, di sisi lain, sikap Prabowo tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh jajarannya belum matang dan solid. Maka tak heran teknis pelaksanaannya pun amburadul.
Itu bisa menjadi indikasi bahwa tim perumus kebijakan di pemerintahan Prabowo, baik dari kalangan birokrat maupun para penasihatnya, belum memiliki koordinasi yang solid dalam menyusun kebijakan yang implementatif dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Padahal, kebijakan pemerintah merupakan cerminan dari arah dan visi pemimpinnya.
Oleh karena itu, kebijakan yang baik seharusnya dirancang dengan melalui berbagai tahapan, mulai dari perencanaan berbasis data, analisis dampak sosial-ekonomi, konsultasi dengan pemangku kepentingan, hingga simulasi implementasi teknisnya.
“Jika setiap kebijakan yang diambil berujung pada pembatalan setelah viral di media sosial, hal ini bisa menciptakan persepsi bahwa kebijakan pemerintah tidak stabil dan kurang terstruktur dengan baik. Implikasi dari pola ini juga berdampak terhadap kepercayaan publik dan investor terhadap pemerintah,” jelas Achmad.
Dalam hal menarik investor, dibutuhkan kepastian regulasi dan stabilitas kebijakan.
Karenanya, jika pola pengambilan kebijakan cenderung berubah-ubah dan mudah dibatalkan setelah mendapat kritik publik, investor bisa menjadi ragu dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
Hal ini tentu dapat menghambat upaya pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Menurut Achmad, pemerintahan Prabowo perlu memperkuat tim perumus kebijakan dengan membangun kelompok kerja yang terdiri dari para ahli ekonomi, sosial, hukum, dan kebijakan publik.
Intinya, ia harus memiliki pemahaman mendalam terhadap berbagai aspek kebijakan yang akan diterapkan.
“Tim ini harus bekerja secara terintegrasi dengan kementerian terkait dan lembaga riset independen untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diusulkan sudah melalui kajian yang mendalam sebelum diumumkan ke publik,” terangnya.
Jauh dari Good Governance
Selain evaluasi terhadap penyusunan kebijakan, Prabowo mesti memastikan kebijakannya dibuat secara transparan dan melibatkan partisipasi publik.
Partisipasi publik juga perlu ditingkatkan. Sebelum suatu kebijakan diberlakukan, pemerintah perlu mengadakan diskusi publik, konsultasi dengan sektor swasta, akademisi, serta kelompok masyarakat.
Dus, pemerintah dapat memperoleh masukan yang lebih luas dan mengurangi risiko resistensi saat kebijakan diterapkan.
“Salah satu kelemahan yang sering terjadi dalam pemerintahan adalah kurangnya komunikasi yang jelas mengenai tujuan dan manfaat suatu kebijakan. Karenanya, sebelum mengumumkan kebijakan, pemerintah perlu memiliki strategi komunikasi yang baik, termasuk menyampaikan alasan di balik kebijakan tersebut, dampak yang diharapkan, serta mekanisme mitigasi,” sambung Achmad.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa pola implementasi kebijakan yang ditunjukkan pemerintahan Prabowo seakan tindakan coba-coba kepada rakyat.
Dalam hal ini, para pembuat kebijakan seolah memperlakukan rakyat sebagai objek penelitian atau lebih kasarnya “cek ombak” sebelum kebijakan diterapkan secara permanen.
“Ini sebenarnya perilaku yang tidak boleh ada sama sekali. Jauh dari good governance karena yang jadi korban adalah warga. Padahal, pemilik bangsa ini sebenarnya warga, bukannya Prabowo, bukannya elite politik. Enggak boleh warga yang dikorbankan, diperlakukan semacam kelinci percobaan,” tegas Bivitri, Kamis (13/2/2025).
Bivitri mengingatkan bahwa pemerintah dalam hal kenegaraan merupakan pelayan publik, bukan penguasa yang dapat bersikap semena-mena terhadap rakyat.
Terlebih, rakyat pun membayar pajak sehingga para pejabat publik semestinya dapat bekerja dengan baik dan benar.
Namun, yang terjadi kini adalah sebaliknya. Selain menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan kebijakan, Kabinet “Gemuk” Merah Putih juga seolah menjadi wadah bancakan para elite politik.
Ia seakan didesain hanya untuk mengakomodasi kepentingan segelintir orang.
Sehingga, yang duduk di pemerintahan pun banyak dari orang-orang yang sebenarnya tidak punya kapabilitas dan tidak memiliki kemampuan untuk merancang kebijakan.
“Jadi, kebijakan yang dibuat perhitungannya semata-mata perhitungan politik ekonomi. Perhitungan politik untuk diri dan kelompoknya, plus ekonomi karena masing-masing ada kaitannya dengan oligarki masing-masing,” jelas Bivitri.
Sebelumnya, Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyampaikan pesan Prabowo bahwa Istana dapat menyingkirkan menteri yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat.
Ini karena Prabowo menginginkan orang-orang yang dapat bekerja seirama dalam pemerintahannya.
"Siapa pun itu, yang tidak mau seirama gerak langkahnya bersama Presiden, ya nanti akan mendapatkan evaluasi dari Presiden," ucapnya di Kantor Komunikasi Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (7/2/2025).
Hasan menilai Prabowo menyatakan hal tersebut agar para pembantunya di Kabinet Merah Putih bekerja dengan lebih giat.
Katanya, tidak ada maksud lain dari pernyataan Prabowo dan peringatan tersebut tidak ditujukan untuk salah satu atau sejumlah penyelenggara negara saja.
"Presiden kan selalu memberikan arahan, termasuk juga memberi pengingat kepada para anggota kabinet. Jadi, ini sesuatu yang disampaikan berlaku umum. Jadi, buat semua orang, buat semua pihak," tutur dia.
Sumber: Tirto
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara