Saat itu, salah satu doktrin yang dikeluarkan timnya adalah larangan bagi prajurit aktif untuk berpolitik.
"Saya tergugah dan terinspirasi. Kalau masih jadi jenderal aktif, jangan berpolitik. Kalau mau berpolitik, pensiun dulu," ujar SBY.
Kementerian Pertahanan (Kemhan) menanggapi pernyataan SBY. Kepala Biro Informasi Pertahanan Sekretariat Jenderal Kemhan, Brigjen TNI Frega Wenas, membantah kembalinya dwi fungsi TNI.
Menurutnya, penugasan prajurit aktif di lembaga sipil dilakukan atas berbagai pertimbangan dan berdasarkan permintaan.
"Semuanya sudah melalui prosedur dan kajian mendalam. TNI berdiri di atas politik negara dan hanya menjalankan kebijakan pemerintah," kata Frega pada 25 Februari 2025.
Hentikan Revisi UU TNI
KontraS mengirim surat kepada Komisi I DPR, meminta revisi UU TNI dihentikan. Surat itu dikirim langsung ke DPR RI pada 3 Maret 2025.
Dalam suratnya, KontraS menyoroti bahaya dwi fungsi TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di lembaga sipil.
Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah Pasal 47 dalam draf RUU TNI.
Pasal ini membuka jalan bagi prajurit aktif untuk mengisi posisi di kementerian atau lembaga lain, dengan alasan kebutuhan tenaga dan keahlian—sesuai kebijakan presiden.
KontraS menilai pasal tersebut dapat menyebabkan kekacauan hukum.
Pertama, ada ketidakharmonisan dalam penerapan aturan.
Kedua, penempatan TNI aktif di lembaga sipil berisiko mengganggu tata kelola pemerintahan yang demokratis.
Ketiga, ada persoalan akuntabilitas etik dan hukum.
TNI memiliki mekanisme kode etik sendiri, berbeda dari ASN sipil. Proses hukumnya pun berbeda.
Jika seorang prajurit TNI yang menjabat sebagai ASN melakukan tindak pidana, akan timbul kebingungan: apakah kasusnya ditangani oleh peradilan militer atau peradilan umum.
Kekacauan ini pernah terjadi dalam kasus korupsi di Basarnas. Juli 2023, KPK menetapkan Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka. Saat itu, Henri masih berstatus TNI aktif, meski menjabat sebagai Kepala Basarnas.
Namun, proses hukumnya menuai polemik. Ada yang berpendapat kasusnya harus ditangani peradilan militer, sementara di sisi lain, korupsinya terjadi di lembaga sipil yang seharusnya berada di ranah peradilan umum.
Akhirnya, KPK meminta maaf, dan kasusnya diambil alih Pusat Polisi Militer TNI serta disidangkan di pengadilan militer.
KontraS juga menolak argumen bahwa penempatan TNI aktif di jabatan sipil adalah solusi bagi perwira non-job.
Menurut Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS, pendekatan ini adalah problem solution mismatch—solusi yang tidak sesuai dengan akar masalah.
"Masalah sebenarnya ada pada sistem rekrutmen dan pembinaan karier di internal TNI yang kurang tertata," kata Dimas.
KontraS juga mengkritik proses revisi UU TNI yang dilakukan terburu-buru dan minim partisipasi publik.
Menurut Dimas, hal ini melanggar prinsip meaningful and worthwhile dalam penyusunan regulasi.
Ironisnya, di saat yang sama, DPR justru tidak segera merevisi Undang-Undang Peradilan Militer yang selama ini dianggap bermasalah.
Jika DPR dan pemerintah benar-benar ingin memastikan TNI patuh pada reformasi dan supremasi sipil, seharusnya yang direvisi adalah UU Peradilan Militer—bukan UU TNI.
"Oleh karena itu, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat sepatutnya menghentikan pembahasan RUU TNI," tegas Dimas.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara