UU TNI Izinkan Tentara Awasi Ruang Digital, Apa Kata Menkomdigi?

- Rabu, 26 Maret 2025 | 12:45 WIB
UU TNI Izinkan Tentara Awasi Ruang Digital, Apa Kata Menkomdigi?


2. Pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber


DDRN mengatakan kalau Pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber secara holistik dan komprehensif. 


Menurutnya, ancaman siber dipandang sebatas ancaman terhadap negara dan militer.


"Padahal terdapat peraturan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibahas dan disahkan seperti peraturan mengenai akuntabilitas korporasi digital yang bertanggung jawab atas operasi informasi di platformnya," kata DDRN.


Selain itu, regulasi lain yang sekiranya perlu disahkan adalah peraturan pelaksana Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) agar dapat berlaku secara efektif.


"Dibandingkan dengan memperluas fungsi TNI, peraturan-peraturan ini justru lebih penting karena dapat memberikan dampak dan manfaat langsung bagi masyarakat, seperti melindungi privasi serta menjamin hak atas informasi yang kredibel," papar DDRN.


3. Konflik kepentingan TNI dengan Komdigi-BSSN


DDRN menyebut kalau peran TNI berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).


Padahal dalam UU ITE, katanya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) adalah penanggung jawab utama penanganan konten-konten ilegal dan berbahaya.


"Jika TNI diberikan kewenangan yang luas dalam menangani ancaman siber non-teknis seperti operasi informasi, maka akan terjadi konflik kewenangan dengan Komdigi," lanjut mereka.


Selain itu, RUU KKS juga mengandung substansi serupa sehingga berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).


"Hal ini semakin menyudutkan posisi rentan demokrasi masyarakat vis-a-vis aparatur sipil, quasi-militer, dan militer sekaligus di ranah digital," terang dia.


4. Prajurit TNI aktif bisa duduki jabatan sipil


Terakhir, DDRN mengatakan kalau perluasan jabatan siber di ruang siber yang dapat diduduki prajurit TNI aktif menjadi ancaman nyata bagi prinsip supremasi sipil dalam konteks tata kelola siber.


Dicontohkan mereka, jika prajurit TNI aktif dapat menduduki posisi strategis di BSSN, maka independensi lembaga dalam merumuskan kebijakan dapat terdistorsi dengan kepentingan militer.


"Selain itu, dominasi militer dalam tata kelola siber juga dapat melahirkan kebijakan-kebijakan siber yang bersifat militeristik, yang acapkali tidak sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM)," pungkasnya.


Sekadar informasi, DDRN adalah jejaring masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada isu demokrasi digital di Indonesia. Jejaring ini dibentuk tahun 2021 lalu.


Adapun anggota DDRN meliputi:


  1. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  2. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
  3. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
  4. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)
  5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  6. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
  7. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
  8. Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa)
  9. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  10. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
  11. Arus Pelangi
  12. Public Virtue (PV)
  13. Social Justice Indonesia (SJI)
  14. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  15. Pusat INformasi, Kecerdasan Artifisial, dan Teknologi (PIKAT) Demokrasi
  16. SIGAB Indonesia
  17. XR Meratus
  18. FeminisThemis
  19. Flower Aceh
  20. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  21. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
  22. GeRAK Aceh
  23. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  24. Safer Internet Lab (SAIL)
  25. YPPM Maluku
  26. Serikat Sindikasi
  27. INKLUSI
  28. Remotivi


Sumber: Suara

Halaman:

Komentar

Terpopuler