Menarik! Anwar Usman Bakal Buka Kotak Pandora Terkait Wapres Gibran, Tunggu Waktu Yang Tepat

- Sabtu, 10 Mei 2025 | 00:00 WIB
Menarik! Anwar Usman Bakal Buka Kotak Pandora Terkait Wapres Gibran, Tunggu Waktu Yang Tepat




POLHUKAM.ID - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengisyaratkan akan membuka kotak pandora putusan kontroversial MK yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden (wapres).


Hal tersebut tersirat dari pernyataan Anwar Usman saat dimintai tanggapannya soal hiruk pikuk usulan pemakzulan anak mantan Presiden Joko Widodo, Gibran dari kursi Wapres oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI.


"Saya belum ada komentar. Nanti deh ya kapan-kapan saya bicara, biarin aja sekarang saya cooling down dulu yah," kata Anwar Usman saat ditemui di Gedung MK, Jumat (9/5).


Anwar enggan mengomentari langsung soal bola panas wacana pemakzulan Gibran. 


Namun pada saatnya nanti, tak menutup kemungkinan paman Gibran itu membuka kotak pandora di balik putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang terus disoal hingga kini.


Terlebih selama ini Anwar kerap disebut-sebut sebagai pihak yang paling disalahkan atas ‘skandal mahkamah konstitusi’ tersebut.


Diketahui, ratusan purnawirawan TNI yang tergabung dalam Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyampaikan 8 pernyataan sikap yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto.


Salah satu tuntutan yang banyak menyita perhatian ialah usulan penggantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kepada MPR RI.


Mereka beralasan putusan MK terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bermasalah, karena melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.


"Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,” demikian bunyi salah satu dari delapan tuntutan mereka yang dibacakan pada 17 April 2025.


[FLASHBACK] Ahli: Pencalonan Gibran Sebagai Cawapres Tidak Sah




Proses persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di MK terus bergulir. 


Perkara No.1/PHPU.Pres-XXII/2024 yang dimohonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) nomor urut 01, Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, masuk tahap pembuktian pemohon. 


Dalam persidangan itu para pihak dan majelis konstitusi mendengarkan keterangan ahli dan saksi pemohon.


Salah satu ahli yang memberi keterangan yakni Guru Besar Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Prof Ridwan. 


Memulai keterangannya, Prof Ridwan menjelaskan kriteria pejabat negara dalam perspektif HAN yakni pejabat publik baik di tingkat pusat dan daerah dengan 3 ciri utama.


Yakni melakukan dinas publik, mendapat upah dan tunjangan dari negara, serta diangkat atau ditetapkan oleh pejabat berwenang. 


Selama mengampu pejabat publik perbuatan hukum yang dilakukan selaku pejabat pemerintahan. 


Kerjanya melayani warga negara, bukan kepentingan pribadi perseorangan. 


Hal itu yang menjadi dasar dalam HAN pejabat publik tidak boleh terlibat kegiatan kampanye.


Tapi, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu membolehkan pejabat publik berkampanye dengan syarat harus cuti dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara. 


Jika syarat itu tak terpenuhi masuk kategori perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan HAN atau onrechtmatig besturen alias tindakan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku. 


Bisa juga PMH karena ada penyalahgunaan wewenang atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).


Soal isu pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres pemilu 2024, Prof Ridwan mengatakan secara umum pencalonan anak sulung Presiden Jokowi sekaligus keponakan hakim konstitusi Anwar Usman itu tidak sah.


Sebab ketika proses pendaftaran Capres-Cawapres berlangsung 19-25 Oktober 2023 aturan yang digunakan masih Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur syarat ‘berusia paling rendah 40 tahun’.  


Sementara Gibran belum genap 40 tahun, tapi KPU menerima dan menetapkan pendaftaran tersebut.


Kemudian KPU menerbitkan Keputusan KPU No.1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024,  di mana konsiderannya mengutip Peraturan KPU 19/2023. 


Padahal peraturan itu sudah dubah menjadi Peraturan KPU 23/2023.  


“Dari perspektif HAN, Keputusan KPU No.1632/2023 cacat konsideran dan cacat isi karena mencantumkan Gibran Rakabuming Raka yang tidak sah pendaftarannya,” ujarnya.


Kemudian soal diskresi KPU sebagaimana Surat KPU No.1145/PL.01.4-SD/05/2023 dinilai tidak memenuhi syarat dan tujuan diskresi sesuai aturan. 


Prof Ridwan menjelaskan berdasarkan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ada syarat dan tujuan diskresi harus terpenuhi secara kumulatif.


Pertama, tujuan diskresi, yakni melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. 


Kedua, diskresi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sesuai AUPB.


Ketiga, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan dan dilakukan dengan itikad baik. 


Mengacu berbagai syarat itu Prof Ridwan menyimpulkan surat KPU No.1145/2023 tidak memenuhi tujuan dan syarat diskresi. 


Sulit menemukan dasar atau alasan diterbitkannya surat KPU tersebut karena putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 bukan peraturan perundangan yang mengandung norma samar (vage norma) atau norma terbuka (open texture) dan adanya pilihan (choice).


Setelah Prof Ridwan giliran advokat Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Jilid II, Patra M Zen menjelaskan advokasi secara pro bono yang dilakukannya terhadap dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang dimohonkan aktivis demokrasi tahun 1998. Yakni Petrus Hariyanto dkk kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 


Singkatnya, DKPP mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan dengan menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dan sanksi peringatan keras untuk komisioner KPU RI lainnya.


Dalam fakta persidangan di DKPP itu Patra mengungkapkan Direktur Jenderal Peraturan Perundangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum dan HAM mengaku pernah mendapat surat dari KPU RI mengenai usul perubahan Peraturan KPU No.19/2023 dalam waktu 7 hari setelah 16 Oktober 2023. 


Dirjen PP mengembalikan surat itu dengan menyarankan untuk berkonsultasi lebih dulu kepada DPR. 


Setelah proses itu kemudian terbit Peraturan KPU No.23 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.


Alhasil, putusan DKPP menyatakan KPU RI sebagai teradu telah terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu antara lain Pasal 11 huruf a dan huruf c, Pasal 15 huruf c, dan Pasal 19 huruf a Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.


“Asas yang dilanggar KPU ini asas profesionalitas dan tidak menjamin kepastian hukum,” imbuhnya.


Sumber: PojokSatu

Komentar