Raymond R. Tjandrawinata: Dunia Harus Bersatu Menanggapi Krisis Ekonomi Global Pascapandemi

- Kamis, 23 Juni 2022 | 12:20 WIB
Raymond R. Tjandrawinata: Dunia Harus Bersatu Menanggapi Krisis Ekonomi Global Pascapandemi

Namun saat ini garis keberuntungan itu akhirnya bisa pecah. Rangkaian masalah saat ini yang berupa perang Rusia-Ukraina, tingginya tingkat inflasi, kelangkaan pangan dan energi global, pelepasan gelembung aset di Amerika Serikat, krisis utang di negara-negara berkembang, dan dampak berkelanjutan dari pascapandemi COVID-19, serta kemacetan rantai pasokan mungkin merupakan krisis yang paling serius dari semuanya.

Baca Juga: Antisipasi Krisis Ekonomi Global, Jokowi Minta Segera Lakukan Efisiensi

OECD dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun Ini tidak lebih dari 3 persen sehingga diperlukan beberapa tanggapan kolektif untuk menjawab tantangan global ini. Kerja sama tingkat global sangat mendesak, namun sayangnya terlihat sangat kecil kemungkinan hal itu akan terjadi.

Kerja sama yang tidak produktif, ironisnya, merupakan suatu konsekuensi dari kesuksesan masa lalu. Kemampuan dunia di masa lalu untuk mengelola krisis, mengatasi gangguan, dan memulihkan pertumbuhan global menunjukkan bahwa lebih banyak negara saat ini telah menjadi cukup kaya untuk menjadi berpengaruh dan menuntut agar kepentingan mereka dipertimbangkan.

Yang lain mengejar tujuan teritorial atau ideologis yang mereka anggap lebih mendesak daripada prioritas ekonomi saat ini. Akibatnya konsensus menjadi hampir tidak mungkin ditemukan. Dunia akan dipenuhi oleh serangkaian kepentingan yang saling bersaing di mana setiap kepentingan akan berusaha menemukan cara untuk mencapai agenda mereka. Tak ada lagi usaha kolektif untuk bersama-sama mengatasi tantangan-tantangan global saat ini.

Baca Juga: Mengulik Akar Krisis Ekonomi yang Melanda Sri Lanka, Penting buat Indonesia?

Hal ini sangat terlihat pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan adanya 164 anggota dan aturan bahwa setiap kesepakatan membutuhkan konsensus di antara negara semua, WTO semakin susah membuahkan hasil konsensus yang bisa diterapkan secara global.

Contoh yang konkret adalah fakta bahwa negara-negara anggota WTO masih belum memberikan persetujuan kolektif untuk menyetujui pelepasan hak paten untuk vaksin COVID-19. Coba saja hal ini disetujui di tahun 2021, dunia akan semakin terbantu dengan adanya vaksin generik berteknologi tinggi.

Hal lain, para menteri perdagangan yang berpartisipasi dalam WTO sudah bernegosiasi selama lebih dari dua dekade untuk membatasi subsidi penangkapan ikan berlebihan yang merusak di lautan dunia. Walaupun WTO pernah membuat terobosan baru untuk menetapkan aturan perdagangan dan menyelesaikan perselisihan, WTO hanya memainkan sedikit peran dalam mengatasi tantangan global rantai pasokan saat ini.

Krisis pangan global juga tidak mungkin untuk ditanggapi secara efektif karena lebih dari dua puluh empat negara telah memberlakukan pembatasan ekspor untuk melestarikan pasokan makanan di negara mereka yang terancam oleh runtuhnya ekspor gandum Ukraina dan Rusia.

Baca Juga: Waspada, Efek Krisis Global! Indonesia Bisa Masuk Krisis Ekonomi Lagi

Walaupun ketidaksepakatan negara-negara anggota WTO sering mengecewakan, namun kegagalan untuk mencapai kesepakatan yang ditujukan untuk meningkatkan produksi vaksin, mencegah krisis pangan, atau membatasi penangkapan ikan yang berlebihan akan semakin memperkuat pandangan bahwa WTO tidak lagi menjadi forum yang layak untuk mengatasi kekurangan perdagangan internasional.

Yang pasti, kegagalan persetujuan tidak akan berakibat fatal bagi sistem WTO yang mengatur arus perdagangan senilai lebih dari USD17 triliun setiap tahun. Tetapi hal ini bisa menjadi tanda yang sangat jelas bahwa mitra dagang dunia sedang menggambar ulang kesetiaan di sepanjang garis geopolitik, suatu fase baru dimana negara-negara kuat semakin kuat dan negara lemah diinjak-injak.

Tentu saja tak ada lembaga yang dapat diabaikan. Terbukti selama ini pemerintah negara-negara selalu menemukan cara baru dan kreatif untuk bekerja sama ketika lembaga lama tidak cukup mahir menyelesaikan masalah.

Baca Juga: Selain Pandemi Covid-19, Ada Pembahasan Lain yang Dibahas oleh WTO, Soal?

Contoh kejadian di tahun 1970-an, ketika dunia menghadapi analogi yang sangat mirip dengan tantangan hari ini. Badai inflasi nyaris sempurna nan tak terkendali, perang di Vietnam dan Timur Tengah, kartel minyak yang mendorong harga energi global, runtuhnya sistem mata uang yang didukung emas di bawah kesepakatan Bretton Woods, serta skandal politik Watergate presiden Nixon di Amerika Serikat menghasilkan periode ketidakstabilan global dan pertumbuhan ekonomi yang sangat lemah.

Pada awalnya, pemerintah tidak dapat bekerja sama secara memadai untuk mengatasi tantangan tersebut. Saat itu berkembanglah beberapa teori yang menggambarkan "krisis legitimasi" kapitalisme Barat. Tetapi para menteri keuangan dari negara-negara Barat terkemuka saat itu datang bersama-sama untuk mencoba membangun sistem moneter baru setelah Amerika Serikat saat itu.

Presiden Richard Nixon mengakhiri konvertibilitas emas ke dolar pada tahun 1971. Upaya ini mengarah langsung ke pertemuan puncak G6 pertama di Perancis pada tahun 1975, di mana para pemimpin negara-negara industri besar bersama-sama memutuskan untuk menemukan cara yang saling memperkuat dalam menghidupkan kembali ekonomi mereka yang sakit.

Halaman:

Komentar

Terpopuler