Rencana penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai yang marak belakangan ini juga menjadi perhatian Mudiyati. Menurutnya, simplifikasi akan menghantam keras pabrikan menengah kecil. Pabrikan besar relatif bertahan, namun diprediksi akan mengalami penurunan produksi. Simplifikasi akan semakin memperketat persaingan industri.
“Kebijakan kenaikan cukai yang eksesif dan simplifikasi memiliki potensi memperkuat oligopolistik di sektor IHT. Pasalnya, nggak semua bisa bertahan. Pada akhirnya akan ada pemusatan atau penguasaan industri oleh sejumlah kecil pemain. Dan long term, penurunan jumlah pabrikan dan produksi pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pendapatan dari CHT,” terang Mudiyati.
Mudiyati menambahkan, dampak penerapan simplifikasi lainnya adalah kekhawatiran pabrikan yang tutup akan masuk ke rokok ilegal demi untuk bertahan (survival). Di lain sisi, peredaran rokok ilegal sudah sangat memprihatinkan akibat kenaikan cukai hasil tembakau.
“Simplifikasi berpotensi memperburuk peredaran rokok ilegal yang justru akan merugikan penerimaan Negara,” tegasnya.
Mudiyati pun mewanti-wanti agar pemerintah dalam melakukan pengaturan IHT perlu kajian komprehensif dan hati-hati, jangan hanya mempertimbangkan sektor yang terbatas.
“Kajian komprehensif untuk menghindari konsekuensi yang tak diinginkan (unintended consequences) yang justru akan mengurangi efektivitas kebijakan pemerintah nantinya, karena menimbulkan dampak negatif di sektor lain,” kata Mudiyati.
Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto mengatakan, penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai telah dilakukan sejak tahun 2010, dari 20 layer tarif sampai dengan tahun 2022 menjadi 8 layer tarif.
Menurut Akbar, tujuan simplifikasi adalah untuk optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi, serta kemudahan pemungutan/pengawasan hasil tembakau.
“Untuk kebijakan layer ke depan, pemerintah masih melakukan kajian secara komprehensif dengan berbagai pertimbangan dan masukan stakeholder terkait,” kata Akbar.
Sementara itu, legislator Fraksi PKB DPR RI, Nur Nadlifah meminta pemerintah bersikap independen dan memperhatikan kesejahteraan para petani tembakau serta pekerja saat merumuskan kebijakan terkait industri hasil tembakau (IHT). Pasalnya, banyak pihak yang mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang mengancam keberlangsungan IHT melalui kampanye-kampanye hitam antitembakau.
“Kampanye hitam itu ingin menghancurkan IHT dalam negeri melalui berbagai tuduhan yang belum tentu faktual dan bahkan menyudutkan, seakan-akan industri ini adalah sebuah dosa besar. Ini sangat disayangkan mengingat jutaan orang menggantungkan hidupnya pada industri ini," tegas Nur Nadlifah.
Menurut anggota Komisi IX DPR RI itu, tidak ada negara lain yang model sektor pertembakauannya seperti di Indonesia karena jenis rokok kretek itu budaya asli kita.
“Tekanan di satu sisi pasti akan berdampak pada seluruh ekosistem industri. Maka itu, kita harus ingat dan memegang teguh netralitas dalam proses penyusunan kebijakan. Jangan mau diintervensi atau diprovokasi,” terang Nur Nadlifah.
Oleh karena itu, Nur Nadlifah meminta pemerintah hati-hati mengambil kebijakan terkait industri ini. Jangan sampai ada intervensi dari pihak tertentu.
“Pemerintah harus berpihak ke petani dan pekerja, apalagi pekerja linting sigaret kretek tangan (SKT),” tukasnya. *
Sumber: suara.com
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid