“Simplifikasi akan melemahkan daya saing yang selanjutnya mematikan pabrikan menengah kecil yang dimulai dari golongan yang dihilangkan layernya karena harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi,” kata Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, dihubungi di Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Henry Najoan menjelaskan, golongan yang naik ke atas, harus membayar cukai yang sangat tinggi, dan harga jual harus naik pada segmen yang sama yang membuat mereka harus menyiapkan modal yang besar. Selanjutnya, mereka juga harus bersaing dengan pabrikan besar yang sudah mapan.
“Ketidakmampuan bersaing dengan golongan besar akan membuat golongan menengah kecil gulung tikar,” terang Henry Najoan.
Henry Najoan mengakui, selama ini golongan menengah kecil berkontribusi bagi penyerapan dari petani tembakau lokal. Dengan gulung tikarnya kelompok tersebut, akan membuat tembakau petani lokal tidak terserap.
“Ini menunjukkan, petani tembakau akan menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari simplifikasi dan penggabungan golongan,” imbuhnya.
Belakangan ini, salah satu pabrikan terbesar gencar mendorong pemerintah untuk melakukan simplifikasi berdasarkan jumlah produksi, dari batasan 3 miliar batang menjadi 2 miliar batang (quota reduction).
Menyikapi hal itu, Henry Najoan menegaskan apapun bentuk simplifikasi dan penggabungannya, akan membuat industri hasil tembakau (IHT) legal terutama menengah ke bawah akan mengalami kontraksi dan melemahkan daya saingnya.
“Penurunan batasan produksi pada golongan I dari 3 miliar menjadi 2 miliar batang akan menciptakan gelombang kontraksi yang merugikan IHT golongan kecil dan menengah yang pada gilirannya juga berakibat negatif pada penerimaan negara secara keseluruhan dan dampak negatif ke sektor lain. Karenanya, Kami tidak setuju dengan wacana pengurangan batasan produksi,” tegas Henry Najoan.
Dalam konteks itu, GAPPRI berharap rencana simplifikasi dan penggabungan ini sebaiknya ditunda terlebih dulu karena yang lebih penting saat ini, adalah bagaimana pemerintah fokus dan berkomitmen menekan peredaran rokok ilegal sampai ke titik nol. Dengan begitu, penerimaan negara menjadi lebih optimal.
“Kami sebagai pelaku yang selama ini taat dengan hukum juga tidak merasa was-was karena harus bersaing dengan rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah karena tidak membayar cukai,” kata Henry Najoan.
GAPPRI juga berharap agar sebaiknya duduk bersama untuk membuat kebijakan yang adil terhadap kelangsungan IHT legal. Pasalnya, IHT selama ini telah menjadi sumber mata pencaharian 5,98 juta orang pekerja. Jumlah tersebut terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.
“IHT juga memberi kontribusi penerimaan negara dari cukai yang mencapai rata-rata 10% dari total penerimaan perpajakan. Di tahun 2021, cukainya Rp188,3 Triliun. Belum lagi dari pajak rokok, PPN HT, dan PPh,” ujar Henry Najoan.
Akademisi Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, Mudiyati Rahmatunnisa berpandangan, IHT merupakan sektor ekonomi yang sangat strategis dan menjadi sektor andalan bagi Negara. Pasalnya, IHT telah menyumbang 10% dari total pendapatan negara. Tahun lalu pendapatan dari cukai hasil tembakau (CHT) lebih dari 160 triliun. Sementara, target 2022 lebih kurang 209 triliun.
Mudiyati menilai, kebijakan kenaikan cukai yang eksesif jelas sangat berat bagi kelangsungan IHT. Kenaikan CHT sudah memangkas secara signifikan jumlah pabrikan. Data resmi menunjukan, tahun 2007 jumlah pabrik rokok sekitar 4.000. tahun 2018, jumlah pabrik rokok berkurang menjadi 600, itu juga yang aktif berproduksi setiap hari sekitar 100 pabrik.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid