Kunci dan peringatan 'malapetaka' pengungsi Palestina - Simbol harapan agar bisa kembali ke tanah kelahiran

- Selasa, 16 Mei 2023 | 19:30 WIB
Kunci dan peringatan 'malapetaka' pengungsi Palestina - Simbol harapan agar bisa kembali ke tanah kelahiran

Setelah perang dimulai, "tentara Israel memulai pengusiran warga Palestina yang lebih sistematis" dan 450.000 warga lainnya terpaksa meninggalkan rumah dan tanah mereka, kata Khalidi, penulis Palestina, Seratus Tahun Kolonialisme dan Perlawanan.

Angka tersebut merupakan perkiraan, tetapi diyakini 80% warga Palestina mengalami pengusiran, menurut data yang ditangani oleh organisasi internasional seperti PBB, jelas Lubnah Shomali.

Mereka yang mencoba kembali bakal disambut dengan tembakan, dipenjara, atau dipaksa kembali ke pengasingan karena mereka dicap sebagai "penyusup".

“Hanya mereka yang tinggal dan terdaftar dalam sensus pertama oleh Israel yang dianggap warga negara Israel. Yang lainnya dinyatakan tidak ada dan hartanya disita, meskipun mereka, misalnya, pernah tinggal di Yerusalem Timur dan rumah mereka hanya berjarak beberapa meter di bagian lain kota," jelas Khalidi.

Di beberapa tempat di mana penduduk melawan, sejarawan telah mendokumentasikan pembantaian seperti di Deir Yassin, di mana seratus orang Palestina terbunuh.

Atau di Tantura, yang sekarang menjadi subyek film dokumenter Israel, tak lama setelah dimulainya perang, beberapa saksi mengklaim hingga 200 orang tak bersenjata tewas dibunuh.

Pada 1948, hanya sepertiga populasi Mandat Inggris atas Palestina adalah orang Yahudi, atau sekitar 600.000 orang, menurut konsensus para sejarawan.

Namun komunitas ini, kata profesor di Columbia, "hanya memiliki sekitar 6-7% tanah, yang juga tidak berada di tangan pribadi, tetapi kebanyakan milik organisasi Zionis seperti Dana Nasional Yahudi atau Badan Kolonisasi Yahudi, sementara sebagian besar tanah dimiliki negara atau pemilik Arab."

"Pengusiran itu bukan peristiwa perang yang acak, tetapi kebijakan sistematis. Anda tidak dapat mengubah mayoritas negara Arab menjadi negara Yahudi tanpa mengubah demografi.

“Para pemimpin Zionis memahami sejak tahun 1930-an bahwa tidak mungkin menciptakan mayoritas Yahudi begitu saja melalui imigrasi, mereka harus memindahkan orang Arab," kata Khalidi, yang juga salah satu editor jurnal akademik bergengsi Journal of Palestine Studies.

Namun, para penguasa Israel di masa-masa awal menenun kisah yang sangat berbeda.

"Narasi yang dikonsolidasikan di Israel pada 1950-an, dan di mana banyak orang Yahudi di dunia masih percaya itu sampai sekarang, adalah bahwa Israel tidak bertanggung jawab atas larinya orang-orang Palestina, bahwa itu sukarela atau sebagai tanggapan atas perintah dari orang Arab.

"Dan bahwa sebenarnya, orang Israel melakukan segala kemungkinan agar orang Arab tidak pergi," jelas Derek Penslar, Profesor Sejarah Yahudi di Universitas Harvard, kepada BBC Mundo.

Saat ini, pandangan di kalangan sejarawan telah berubah.

"Ada konsensus di antara para sejarawan Israel, baik kiri atau kanan, bahwa orang Palestina tidak pergi atas kehendak sendiri, bahwa ada kasus pengusiran yang jelas, seperti yang terjadi di kota-kota Ramla dan Lod, dan dalam hal jumlah, 750.000 yang mengungsi," kata Penslar, penulis karya The Origins of Israel 1882-1948: A Documentary History.

Namun, apa yang tidak disetujui oleh para peneliti Israel adalah alternatif dari pengusiran tersebut.

"Perdebatan hari ini adalah apa lagi yang bisa dilakukan orang Israel saat itu, apakah negara Yahudi dapat bertahan atau tidak dengan 750.000 orang Arab itu," tambah Penslar.

Drama ini tidak berakhir pada 1948.

Setelah Perang Enam Hari pada 1967, 300.000 orang lainnya meninggalkan rumahnya, menurut angka dari Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).

Ribuan warga Palestina yang saat itu berada di luar negeri untuk bekerja, mengunjungi kerabat, atau belajar, seperti yang terjadi pada suami Lubnah Shomali, tidak bisa kembali ke rumah.

“Mereka menjadi pengungsi secara de facto,” jelas aktivis BADIL itu.

Sejak itu, Israel telah mengizinkan pembangunan 140 permukiman di wilayah Palestina, di mana sekitar 600.000 orang Yahudi tinggal dan dianggap ilegal oleh komunitas internasional.

Hak pemulangan para pengungsi ini, yang diratifikasi oleh resolusi PBB 194 yang disetujui pada 11 Desember 1948, merupakan salah satu tuntutan utama rakyat Palestina dan para pemimpin mereka.

Resolusi ini memutuskan bahwa "pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diizinkan melakukannya secepat mungkin."

Ini juga menyatakan bahwa "mereka yang memutuskan untuk tidak kembali" harus diberi kompensasi atas aset-aset mereka.

Pemerintah Israel selalu mengambil pandangan bahwa Resolusi PBB 194 tidak mengakui "hak" khusus bagi warga Palestina untuk kembali, melainkan merekomendasikan agar para pengungsi "harus diizinkan" untuk kembali.

"Baik di bawah konvensi internasional, maupun di bawah resolusi utama PBB, maupun di bawah perjanjian yang relevan antara para pihak, pengungsi Palestina memiliki hak untuk kembali ke Israel," dapat dibaca di situs resmi Kementerian Luar Negeri Israel.

“Narasi pemerintah di tahun 1950-an adalah bahwa orang Arab yang memulai perang dan karena itu harus menanggung akibatnya, dan ini adalah narasi yang masih ada sampai sekarang,” kata Derek Penslar.

Hal ini, secara logika, menjadi salah satu kendala utama dalam mencari jalan keluar dari konflik Arab-Israel.

Israel, dengan populasi lebih dari sembilan juta orang, mengklaim tidak dapat membiarkan lebih dari lima juta pengungsi kembali karena itu berarti akhir dari keberadaannya sebagai negara Yahudi.

Sumber: bbc.com

Halaman:

Komentar

Terpopuler