BIOGRAFI Dr Soepomo, Salah Satu Perumus Pancasila, Ini Sederet Perannya sebelum Tutup Usia di 1958

- Senin, 29 Mei 2023 | 12:09 WIB
BIOGRAFI Dr Soepomo, Salah Satu Perumus Pancasila, Ini Sederet Perannya sebelum Tutup Usia di 1958

TRIBUN-BALI.COM � BIOGRAFI Dr Soepomo, Salah Satu Perumus Pancasila, Ini Sederet Perannya sebelum Tutup Usia di 1958

Sebentar lagi kita bangsa Indonesia akan memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2023 mendatang.

Salah satu cara memperingati Hari Lahir Pancasila adalah dengan mengetahui sejarah perumusan dasar negara tersebut.

Serta mengetahui dan mengenang para tokoh yang berjasa di baliknya.

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang terdiri dari lima poin sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara.

Tak serta merta langsung terbentuk lima poin yang saat ini sudah kita hafal di luar kepala.

Namun, pembentukan Pancasila telah melalui beberapa perumusan dari beberapa usulan.

Terdapat tiga tokoh yang mengusulkan rumusan dasar negara, yaitu Moh. Yamin, Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno.

Dalam artikel ini akan dirangkumkan biografi salah satu tokoh berjasa tersebut, yaitu Dr. Soepomo.

Dikutip dari berbagai sumber, inilah Profil dan Biografi Dr.Soepomo dalam kiprah dan perannya di NKRI hingga beliau tutup usia pada 1958.

Nama Dr. Soepomo mungkin lebih dikenal sebagai jalan di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.

Baca juga: 30 Link Twibbon Selamat Hari Lahir Pancasila 2023, Cocok Jadi Status Sosial Media

Namanya memang diabadikan di jalan Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia atas jasanya yang besar.

Dr Soepomo adalah salah satu perumus dasar negara yakni Pancasila.

Tak hanya Pancasila, ia juga ikut menyusun Undang-undang Dasar 1945.

Dikutip dari Biografi yang disusun Direktorat Jenderal Kebudayaan, Soepomo lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah pada 22 Januari 1903.

Meski berasal dari kota kecil, Soepomo lahir dari keluarga yang terpandang di sana.

Ia adalah putra pertama Raden Tumenggung Wignyodipuro, pejabat Bupati Anom Inspektur Hasil Negeri Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Kakeknya, KRT Reksowadono, adalah Bupati Sukoharjo.

Kendati terlahir ningrat, Soepomo tak memiliki jiwa feodal seperti keluarga kepala daerah umumnya.

Ia digambarkan sebagai anak yang sederhana dan rendah hati.

Berprestasi di Sekolah

Sebagai anak bangsawan, Soepomo mendapat kehormatan untuk bersekolah di sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan bangsawan yakni Europeesche Lagere School di Solo.

Soepomo menamatkan sekolah pada 1917, di usia yang cukup muda yakni 14 tahun.

Ia kemudian melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang ada di Solo juga.

Soepomo remaja menamatkan sekolah pada 1920 dengan prestasi yang gemilang.

Di sekolah ini pula, Soepomo bertemu dengan Raden Ajeng Kushartati, gadis keraton yang kelak menjadi istrinya.

Selepas lulus dari MULO, Soepomo kemudian melanjutkan sekolah hukum ke Rechtscool di Jakarta pada 1920.

Di Jakarta, Soepomo mulai bergaul dengan pemuda-pemuda lain yang tergabung dalam pergerakan nasional.

Soepomo lagi-lagi menuai prestasi dengan menamatkan Rechtscool pada 1923 dengan hasil yang memuaskan.

Pada 16 Mei 1923, ia diangkat sebagai pegawai negeri dengan penempatan Pengadilan Negeri di Sragen, kota tempat kakeknya, RT Wirjodiprodjo menjabat sebagai Bupati Nayaka Kabupaten Sragen.

Pekerjaan yang disenanginya itu harus ditinggalkannya pada 12 Agustus 1924.

Saat itu, Soepomo mendapat program studi eopdracht atau pertukaran pelajar.

Baca juga: 20 Kumpulan Ucapan Bijak Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2023, Yuk Sebar ke Sosmed!

Belajar Pergerakan di Belanda

Di usia 21 tahun, Soepomo mengejar cita-citanya menjadi ahli hukum dengan menimba ilmu di Fakultas Hukum di Universiteit Leiden.

Ia memperdalam diri dalam peminatan hukum adat.

Di sana, Soepomo juga bergabung dengan organisasi Indonesische Vereniging atau Perhimpunan Indonesia.

Perkumpulan yang berubah menjadi organisasi politik itu mengajarkan nilai-nilai pergerakan untuk kemerdekaan kepada Soepomo.

Selain aktif di pergerakan, Soepomo juga aktif di kesenian.

Jiwa seninya terlihat dari tariannya yang berbakat.

Lewat berbagai pentas, Soepomo ingin menunjukkan Indonesia adalah bangsa dengan peradaban yang tinggi.

Keahlian menari itu diwarisi dari seorang pangeran keraton bernama Sumodiningrat.

Soepomo bahkan sempat menari dalam pagelaran di Paris pada 1926.

Setahun kemudian, pada 14 Juni 1927, Soepomo meraih gelar Meester in de rechtern (Mr) atau magister hukum dengan predikat summa cum laude.

Disertasinya yang berjudul De Reorganisatie van het Agrarisch stelsel in het Gewest Soerakarta juga membuatnya langsung meraih gelar doktor.

Semua diraih dalam usia 24 tahun.

Kendati sibuk sekolah, Soepomo muda tetap tak lupa pada pujaan hatinya semasa sekolah di Solo.

Takdir mengantarkannya bertemu kembali dengan Raden Ajeng Kushartati.

Saat pesta perkawinan emas Ratu Wilhelmina di Belanda, Supomo bertemu dengan kedua orangtua Raden Ajeng Kushartati.

Soepomo meminta restu untuk mengawininya.

Perkawinan pun dilaksanakan di Indonesia setelah Soepomo kembali.

Baca juga: SEJARAH Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Peristiwa Penculikan Soekarno-Hatta, Ini Teks Proklamasi

Jadi Hakim dan Profesor

Sekembalinya ke Tanah Air, Soepomo menjalani beberapa profesi.

Di antaranya, Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Direktur Justisi di Jakarta, hingga Guru Besar hukum adat pada Rechts Hoge School di Jakarta.

Pekerjaan Soepomo mengharuskannya meneliti ke lapangan. Ia turun ke rumah penduduk dan dan melihat bagaimana kebodohan membelenggu rakyat.

Soepomo menilai keadaan itu hanya bisa diperbaiki lewat pendidikan.

Berangkat dari pemikiran itu, Soepomo kerap memberi penyuluhan dan bantuan kepada masyarakat.

Dikutip dari Ensiklopedia Tokoh Nasional, Prof. Mr. Soepomo (2017), cita-cita luhur Soepomo membuatnya bergabung dengan organisasi Budi Oetomo.

Seperti organisasi dan partai politik lainnya, Budi Oetomo juga mencita-citakan kemerdekaan bangsa.

Caranya, lewat pendidikan bagi seluruh anak bangsa.

Kiprah Soepomo cukup menonjol di organisasi itu.

Pada 1930, ia pun dipercaya menjabat wakil ketua.

Di sisi lain, profesinya sebagai hakim membuatnya dilematis.

Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan serangkaian aturan yang melarang orang berkumpul dan berserikat dalam kegiatan politik.

Sejumlah tokoh nasional pernah dijebloskan ke penjara karena aturan-aturan ini.

Soekarno pernah masuk penjara Sukamiskin, Bandung hingga Ende dan Bengkulu.

Begitu pula Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, Sayuti Melik, dan banyak nama lainnya.

Soepomo yang dalam hati mendukung pergerakan yang dilakukan para tokoh, terikat pada pekerjaannya sebagai pegawai pemerintahan.

Sebagai hakim, ia harus menjatuhkan hukuman yang dibuat Belanda kepada saudara sebangsanya sendiri.

Soepomo berusaha membantu perjuangan dengan cara memberi saran kepada para pejuang untuk bertemu secara sembunyi-sembunyi.

Ia juga kerap mendebat aparat polisi yang menangkap pejuang.

Baca juga: SEJARAH Penyusunan Teks Proklamasi yang Diketik Sayuti Melik dan Dibaca Soekarno

BPUPKI lalu PPKI

Memasuki masa pendudukan Jepang pada 1942, Soepomo melakoni peran baru sebagai Mahkamah Agung (Saikoo Hoin) dan anggota Panitia Hukum dan Tata Negara.

Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Kepala Departemen Kehakiman (Shijobuco).

Soepomo menerima pekerjaan itu karena di era pendudukan Jepang, para pejuang memilih tak melawan dan kooperatif dengan militer Jepang yang keras.

Halaman:

Komentar

Terpopuler