Kemenangan Putra Diktator Filipina Sebagai Presiden Disambut Gegap Gempita, Bisa Merembet ke ASEAN?

- Jumat, 13 Mei 2022 | 08:50 WIB
Kemenangan Putra Diktator Filipina Sebagai Presiden Disambut Gegap Gempita, Bisa Merembet ke ASEAN?

"Saya tidak tidur selama 24 jam, mengikuti perkembangan terbaru setiap jam," katanya kepada ABC. "Saya sangat senang."

Baca Juga: China Yakin Hubungan Filipina Semakin Kuat di Bawah Putra Diktator

Seperti Faye Faustino, komunitas Filipina di seluruh Australia tidak malu-malu mengungkapkan pandangan mereka tentang pemilu Filipina yang paling memecah belah warga Filipina dalam beberapa dasawarsa.

Mereka menghadapi pilihan yang sulit, putra seorang diktator versus pengacara hak asasi manusia.

Tidak jarang, terjadi perselisihan antarkelompok pendukung yang bersaing.

Minggu ini, banyak orang Filipina yang berbagi kegembiraan seperti halnya Faye Faustino.

Wakil Presiden petahana, Leni Robredo --saingan utama Ferdinand Marcos Jr,  yang lebih dikenal sebagai "Bongbong" (atau disingkat BBM)-- memenangkan suara terbanyak di Konsulat Jenderal Filipina di Sydney dan Melbourne.

Tapi hasil ini tidak mencerminkan hasil keseluruhan penghitungan suara yang masuk.

Meski hasil resmi pemilu diharapkan baru bisa diumumkan sekitar akhir bulan Mei, tetapi karena lebih dari 90 persen suara telah dihitung, dapat terlihat bahwa Marcos, yang mencalonkan diri bersama putri presiden petahana Rodrigo Duterte, akan keluar sebagai pemenang.

Ini adalah kemenangan mayoritas sejak revolusi 1986 yang menggulingkan kediktatoran dua dekade mendiang ayah Bongbong.

"Saya kecewa, marah, dan sedih," kata Vince de Guzman, 20 tahun.

Namun, mahasiswa Sydney telah bersumpah untuk tidak berkecil hati.

"Saat kami, para pemuda, merasa putus asa, saat itulah kami benar-benar kalah. Kami semua tahu bahwa perjuangan untuk Filipina yang lebih baik tidak akan pernah berakhir," katanya kepada ABC.

Beberapa ribu pengunjuk rasa, terutama kaum muda, berunjuk rasa di luar markas komisi pemilihan umum di Manila setelah hasil awal perolehan suara diumumkan.

Pada Rabu (11/05) petang di Federation Square Melbourne, digelar sebuah aksi bertajuk "Tidak untuk Marcos-Duterte 2022" yang mengutuk apa yang disebut penyelenggara aksi sebagai "tandem fasis."

"Bongbong Marcos dan Sara Duterte pasti akan melanjutkan warisan mengerikan ayah mereka dari pelanggaran hak asasi manusia yang masif, pencurian dan penjarahan," kata kelompok advokasi Anakbayan Melbourne.

Pendukung Bongbong menolak narasi diktator 

Ribuan penentang Marcos senior mengalami penganiayaan selama era darurat militer tahun 1972-1981 yang brutal, dan nama keluarga Marcos menjadi identik dengan penjarahan, kronisme, dan kehidupan mewah, setelah miliaran dolar kekayaan negara menghilang.

Namun, keluarga Marcos menyangkalnya – dan begitu juga banyak pemilih Filipina saat ini.

Baca Juga: Putra Diktator yang Jadi Presiden Filipina Minta Jangan Nilai dari Kasus Ayahnya

Faye Faustino hidup di bawah pemerintahan Marcos senior di Filipina, tetapi percaya bahwa masa itu adalah masa yang "sangat, sangat baik."

Dia mengatakan narasi seputar kediktatoran Marcos senior adalah propaganda.

“Media sosial sangat membantu dalam mencerahkan, atau membuka pola pikir masyarakat Filipina,” kata Faye.

Liz Ficnerski, yang adalah inisiator kelompok pendukung dari Melbourne untuk Bongbong Marcos dan Sara Duterte, setuju dengan pendapat itu.

"Saya tidak pernah berpikir bahwa Ferdinand Marcos adalah seorang diktator," kata pria berusia 55 tahun itu kepada ABC.

"Dia adalah tipe presiden yang telah berjasa untuk banyak hal bagi Filipina. Kami akan senang sosok itu kembali."

Sejarah ditulis ulang melalui penguasaan media

Vince de Guzman diajari di sekolah tentang dinasti politik Marcos yang terkenal kejam dan tidak dapat memahami bagaimana begitu banyak pendukung BBM, blogger, dan influencer media sosial mengatakan bahwa sejarah telah terdistorsi.

Dia mengatakan dia dan teman-temannya dapat berbagi informasi dan mengikuti situasi politik di tanah air melalui media sosial, tetapi iru seperti "pedang bermata dua."

"Keberadaan Bongbong Marcos sebagai kandidat presiden menunjukkan seberapa besar media sosial dapat berperan dalam hal ini," katanya.

"Orang-orang menerima fakta palsu bahwa era Marcos adalah masa yang paling jaya dan yang sebenarnya terjadi tidak begitu, maksudnya cerita begitu banyak orang dilukai dan disiksa, dan uang yang dicuri."

Aim Sinpeng, dosen senior di departemen pemerintahan dan hubungan internasional di University of Sydney, mengatakan ini bukan situasi yang unik bagi Filipina.

Di seluruh dunia, politisi telah menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun ulang citra diri mereka sendiri dengan memberikan informasi atau fakta alternatif, katanya.

"Ini adalah pemasaran politik yang cerdas sebagai bagian dari kampanye BBM dalam memanfaatkan media sosial untuk menulis ulang sejarah," kata Dr Sinpeng kepada ABC.

Halaman:

Komentar