Oleh: Teguh Santosa*
DALAM sebuah wawancara dengan CNN di bulan Mei 1995, Ramos Horta memperkirakan kekuasaan Soeharto di Indonesia akan berakhir sekitar dua atau tiga tahun lagi. Kejatuhan itu, katanya, karena korupsi yang semakin menjadi, salah kelola, dan legitimasi rejim yang semakin jeblok.
Setelah Orde Baru tumbang, Horta yakin akan lebih mudah bagi Timor Leste untuk mencapai kemerdekaan.
Hal itu antara lain yang disampaikan Presiden Timor Leste Ramos Horta ketika berbicara dalam Dialog Demokrasi yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanah Abang, Jakarta, Senin siang (7/8).
Pria kelahiran Dili, 26 Desember 1949 itu dilantik sebagai presiden ke-5 Timor Leste di bulan Mei 2022 lalu. Ini adalah kali kedua dia menjabat sebagai presiden Timor Leste setelah sebelumnya pada periode 2007-2012.
Selain itu, Ramos Horta yang menerima Noberl Perdamaian bersama Uskup Ximenes Belo tahun 1996, juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Timor Leste untuk waktu yang cukup singkat, dari bulan Juni 2006 sampai Mei 2007.
Di bagian awal kuliah umum di CSIS, Ramos Horta menceritakan pembicaraannya dengan dua pejabat Indonesia menjelang berakhirnya kekuasaan Portugis di Timor Leste pada pertengahan 1970an. Pertama, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Brigjen Elias Tari, dan kedua, Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Saya mendapatkan naskah kuliah umum itu saat bertemu Ramos Horta di Hotel JS Luwansa, Senin malam (7/8). Dalam pertemuan yang difasilitasi Duta Besar RDTL untuk Indonesia Filomeno Aleixo da Cruz, saya menyerahkan dia buku yang barru saya luncurkan, “Perdamaian yang Buruk, dan Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina”. Kedua buku berisi wawancara dengan duta besar negara sahabat di Jakarta.
Pada bulan Juni 1974, sebagai Menteri Luar Negeri yang ditunjuk Front Revolusi untuk Kemerdekaan Timor Leste atau Fretelin, Horta melakukan perjalanan ke Jakarta untuk mencari tahu sikap Indonesia pada upaya Timor Leste melepaskan diri dari Portugis yang berkuasa di sana sejak abad ke-16.
Di tahun 1974 itu, Portugis sedang menghadapi krisis besar. Revolusi Anyelir yang terjadi di bulan April berhasil menekan diktator Portugis dan melahirkan era demokrasi. Situasi inilah yang dimanfaatkan Timor Leste sebagai momentum untuk merebut kemerdekaan.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid