Kebijakan ini sebagai perjodohan dari kebijakan suku bunga acuan. Kebijakan ini tentunya memiliki tujuan, yaitu mencegah instabilitas sistem keuangan yang bisa berdampak sistemik serta meningkatkan kualitas fungsi intermediasi perbankan di Indonesia.
BI menggunakan instrumen kebijakan ini untuk mencapai indikator ekonomi yang diinginkan, seperti pertumbuhan ekonomi dan menstabilkan kondisi jasa keuangan yang tidak seimbang.
Jika melihat dari kedua kebijakan ini bisa jadi saling membantu satu sama lain. Contoh saja, ketika BI ingin mengarahkan kenaikan inflasi, maka otoritas moneter tersebut akan melancarkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan menurunkan suku bunga acuan.
Akan tetapi, hubungan kedua kebijakan ini bisa di bilang unik. Pasalnya, kebijakan makroprudensial juga bisa menahan sistem keuangan dari dampak negatif yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan suku bunga acuan. Ada lima jenis kebijakan makroprudensial yang berada di negara kita. Apa saja?
Pertama: Countercyclical Buffer (CCB) ialah tambahan modal yang wajib dibentuk oleh bank dan berfungsi sebagai penyangga (buffer) demi mengantisipasi kerugian akibat pertumbuhan kredit atau pembiayaan perbankan yang berlebihan. Bahkan, BI telah mewajibkan setiap bank untuk memiliki CCB sebesar 0 persen hingga 2,5 persen dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank.
Kedua: Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV dan FTV). Sebuah kebijakan LTV dan FTV akan dikatakan longgar jika rasio keduanya mendekati 100 persen. Dengan kata lain, di bawah kebijakan LTV dan FTV yang longgar, seorang konsumen bisa mendapatkan kredit kendaraan atau properti hanya dengan membayar uang muka (down payment) yang semakin sedikit. Bahkan, konsumen tidak perlu membayar uang muka kredit jika rasio LTV dan FTV berada di angka 100 persen.
Sebaliknya, kebijakan LTV dan FTV disebut ketat jika rasio keduanya kian kecil dan mendekati ke arah 0 persen. Salah satu tujuan dari kebijakan makroprudensial LTV dan FTV adalah demi menjaga stabilitas sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik yang berasal dari peningkatan seperti harga properti.
Ketiga: Rasio Intermediasi Makroprudential (RIM). RIM merupakan instrumen makroprudensial yang ditujukan untuk menilai kemampuan kredit perbankan. RIM sendiri merupakan perluasan dari rasio pinjaman terhadap pendanaan, yang akrab disebut Loan to Funding Ratio (LFR). BI menetapkan satu angka RIM sebagai acuan. Saat ini, BI mewajibkan perbankan untuk memiliki RIM di angka 84 persen hingga 94 persen
Artinya, jika RIM bank di bawah 84 persen maka penyaluran kredit bank tersebut belum maksimal. Sementara itu, jika RIM hampir mentok ke angka 94 persen artinya bank tersebut hampir tidak memiliki ruang tersisa untuk menyalurkan kredit.
Keempat: Penyangga Likuiditas Makropudensial (PLM) merupakan cadangan likuiditas minimum dalam rupiah, yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk surat berharga berdenominasi rupiah, yang dapat digunakan sebagai bagian dari operasi moneter. Besarannya ditentukan oleh BI dengan mengambil persentase tertentu dari DPK.
PLM juga memiliki fitur fleksibilitas. Yakni, kondisi di mana surat berharga tersebut dapat digunakan untuk transaksi repo kepada BI dalam operasi pasar terbuka sebesar persentase tertentu dari DPK bank dalam denominasi rupiah.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid