EKSKLUSIF: Jaringan Bahlil dan Keluarga Papua Dalam Bisnis Nikel Raja Ampat

- Senin, 16 Juni 2025 | 17:10 WIB
EKSKLUSIF: Jaringan Bahlil dan Keluarga Papua Dalam Bisnis Nikel Raja Ampat


Jaringan Bahlil dan Keluarga Papua Dalam Bisnis Nikel Raja Ampat!


PENCABUTAN empat izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, oleh Presiden Prabowo Subianto pada Selasa, 10 Juni 2025, membuat warga Kam­­­­pung Selpele dan Saleo di Distrik Waigeo Barat batal menggelar Jumat Bersih di Pulau Wayag. 


Rapat warga kampung pada Jumat, 13 Juni 2025, membatalkan acara bersih-bersih pulau setiap pekan itu. 


Padahal Pulau Wayag berjarak 22 kilometer dari Pulau Kawe yang menjadi lokasi penambangan nikel.


“Kami batalkan Jumat Bersih untuk menghormati marga lain yang sedang memprotes penutupan tambang oleh pemerintah,” kata Jefri Dimalauw, 30 tahun, tokoh pemuda Selpele.


Protes pencabutan izin tambang nikel muncul dari mar­ga Daat, Arampele, Ayelo, dan Ayei. 


Mereka memprotes pencabutan izin tambang nikel PT Kawei Sejahtera Mining yang sejak 2013 menguasai 5.922 hektare area Pulau Kawe—lebih luas 1.361 hektare dari bentangan daratan pulau.


Bupati Raja Ampat Orideko Iriano Bur­dam ikut menyokong gerakan protes dengan menutup akses kunjungan wisata ke sejumlah pulau di Distrik Waigeo Barat. 


Ia beralasan penutupan pulau untuk mencegah kon­flik sosial antara pendukung tambang dan pelaku wisata. 


“Dalam waktu dekat kami akan gelar tikar adat untuk mencari solusi konkret,” ucap Orideko pada Kamis, 12 Juni 2025.


PT Kawei Sejahtera Mining sudah lama bercokol di Pulau Kawe. Per­usa­haan itu didirikan oleh kepala suku Kawei, Daniel Daat. 


Semasa hidup, Daniel pernah menjabat Kepala Biro Keuangan Provinsi Irian Jaya—sebelum akhirnya berubah menjadi Papua Barat. 


Pada 2011, dia terlibat konflik penguasaan tambang dengan PT Anugerah Surya In­do­­tama hingga berujung pencabutan izin kedua perusahaan itu. 


Dua ta­hun berselang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mem­berikan konsesi itu kepada keluarga Daat.


Seusai konflik, keluarga Daat berkongsi dengan keluarga taipan Sugianto Kusu­ma alias Aguan, pemilik Grup Agung Sedayu, mengelola PT Kawei Se­jah­tera Mining pada 2015. 


Dokumen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum juga mencatat tiga anak Aguan—Susanto Kusuma, Alexander Halim Kusu­ma, dan Richard Halim Kusuma—menjadi pemilik manfaat atas perusahaan yang memegang PT Kawei Sejahtera Mining.


Meski akta berubah beberapa kali, perusahaan-perusahaan pemegang sa­ham PT Kawei Sejahtera Mining masih ter­afiliasi dengan Aguan. 


Juga muncul nama Ali Hanafia Lijaya yang menjabat Komisaris Utama PT Kawei Sejahtera Mining. 


Ali adalah orang dekat Aguan yang namanya muncul dalam skandal pe­man­cangan pagar laut proyek strategis nasional di Kabupaten Tangerang, Banten.


Nama keluarga Daat memang sudah tidak muncul dalam data saham PT Kawei Sejahtera Mining, tapi sejumlah sumber menceritakan mereka masih dipercaya sebagai pelaksana operasi tambang di Pulau Kawe. John Daat, putra Daniel Daat, ditunjuk sebagai pemimpin operasi. 


Selama bertahun-tahun mereka di­tengarai menambang tanpa rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang menjadi syarat penambangan sumber daya alam.


Kementerian Lingkungan Hidup mene­mu­kan perusahaan sedang menggangsir area seluas 89,29 hektare di Blok C. 


Ke­mu­dian penambangan di luar area persetujuan penggunaan kawasan hutan Kementerian Kehutanan seluas 5 hektare. 


Analisis spasial oleh Yayasan Auriga Nusantara pun mengidentifikasi deforestasi akibat pertambangan seluas 159 hektare sepanjang 2001-2024.


Presiden Di­rektur Agung Sedayu Group Nono Sam­pono mengaku tak berwenang men­je­laskan kepemilikan Aguan di PT Kawei Sejahtera Mining. Padahal Nono pernah menjabat komisaris utama perusahaan tersebut pada 2015. 


“Pak Nono tidak ber­ada di jajaran manajemen KSM (PT Kawei Sejahtera Mining),” tutur Bambang, aju­dan Nono, pada Jumat, 13 Juni 2025.


Surat elektronik juga dikirimkan kepa­da Ali Hanafia Lijaya, tapi ia tak membalasnya. 


Adapun permintaan konfirmasi kepada keluarga Daat dilayangkan kepada John Daat secara tertulis melalui aplikasi pesan instan lewat nomor telepon selu­ler­nya. Pertanyaan juga mencakup pertambangan PT Kawei Sejahtera Mining yang diduga ilegal. 


John tidak menjawab, tapi seseorang yang mengaku anggota keluarganya menelepon balik dan memberikan penjelasan tanpa bisa dikutip.


•••


DALAM sebuah acara di Jakarta pada Selasa, 3 Juni 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menjelaskan duduk soal masyarakat Papua mengelola tambang. 


“Ada aspirasi masyarakat di Papua, khususnya Raja Ampat, ada pembangunan smelter di Sorong,” katanya. Smelter di Sorong ditujukan untuk mengolah bijih nikel dari Raja Ampat. 


Pernyataan ter­sebut berulang kali disampaikan Bahlil untuk menggambarkan niatnya mem­ba­ngun smelter di Kawasan Ekonomi Khu­sus Sorong.


Proyek yang berada di tepi Selat Sele, di antara tiga kampung Distrik Mayamuk, itu mulanya direncanakan hanya mencakup area seluas 523,7 hektare. 


Payung hukum­nya adalah Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2016 yang diteken Presiden Joko Widodo. Mulanya hanya akan ada industri semen, pabrik aspal, dan lainnya tanpa smelter nikel.


Ketika dilantik menjadi Menteri In­ves­­tasi pada 2021, Bahlil se­gera mendorong pembangunan smel­­ter. Persoalannya, perusahaan-peru­sa­­ha­­an sebetulnya tidak bersedia membangun smelter karena pertimbangan beban biaya operasional hingga efisiensi jarak area tambang yang lebih dekat ke Halmahera, Maluku Utara. 


Misalnya PT Gag Nikel—anak usaha PT Aneka Tambang Tbk di Pulau Gag—yang akhirnya mundur dari rencana pembangunan smelter.


Beberapa tahun belakangan, realisasi pembangunan smelter muncul dari karib Bahlil, Adriana Imelda Daat, salah satu anak Daniel Daat. 


Keduanya sama-sama aktif di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia dan Partai Golkar, partai yang dipimpin Bahlil. 


“Bahlil pernah bekerja untuk ayah Imelda. Dulu Daniel Daat terkenal sebagai tokoh yang membantu putra-putra dae­rah,” kata seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Raja Ampat. Bahlil Lahadalia lahir ei Fakfak, Papua Barat, 48 tahun lalu.


Dengan pertalian itu, Imelda Daat mendirikan konsorsium membangun smelter pada 2023. 


Konsorsium itu terdiri atas PT Shengwei New Ener­gy Technology, PT Sino Consultant Invest­ment Indonesia, PT Huahe Management Indonesia, dan PT Malamoi Olom Wonok. 


Smelter yang mereka bangun digadang-gadang bakal mengolah bijih nikel dari tambang PT Kawei Sejahtera Mining di Raja Ampat.


Nama Adriana Imelda Daat muncul dalam Dokumen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dengan jabatan Direktur Utama PT Sino Consultant seka­li­gus pemegang saham. Di sana juga ada nama Randy Irianto Kurniawan, pengusaha nikel asal Jakarta. 


Nama kedua­nya pun muncul kembali dalam data PT Sino Konsultan Indonesia, perusahaan yang juga disiapkan untuk menyokong smelter.


Tempo meminta penjelasan Imelda melalui John Daat. Orang dekat Imelda meng­hubungi kembali Tempo, tapi eng­gan penjelasannya ditulis. 


Permintaan konfirmasi juga disampaikan kepada Ran­dy Irianto Kurniawan, yang menyebut peli­batannya dalam pembangunan smel­ter sebagai bagian dari tugas putra daerah untuk memperkenalkan peluang investasi di Sorong. 


“Tapi sampai sekarang investor tidak bersedia berinvestasi karena tidak ada kejelasan bahan bakunya,” tutur Randy pada Jumat, 13 Juni 2025.


Adapun dari PT Huahe Management Indonesia muncul dua nama politikus Golkar. Salah satunya mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo yang menjabat komisaris utama. 


Dia memiliki sebagian kecil saham peru­saha­an tersebut. Bambang belum merespons daftar pertanyaan yang dikirim ke nomor ponselnya. 


Sebelumnya dia mendukung rencana investasi PT Sheng Wei New Energy Technology dan Beijing Jianlong Heavy Industry Group Co Ltd untuk mem­bangun smelter nikel dan pabrik baja.


Menteri Bahlil Lahadalia tak kunjung merespons permintaan konfirmasi kedekatannya dengan keluarga Daat dan rencananya membangun smelter di Sorong. 


Sebelumnya dia hanya memberi penjelasan tentang empat izin yang dicabut—salah satunya milik PT Kawei Sejahtera Mining. 


“Yang punya rencana kerja dan anggaran biaya itu hanya satu izin yang beroperasi, yaitu PT Gag Nikel. Yang lain di 2025 belum mendapat RKAB,” kata Bahlil.


•••


DARI pembaringan di rumah sakit Singa­pura, Olly Dondokambey mem­benar­kan kabar bahwa perusahaan mertuanya, PT Manado Kar­ya Anugrah, sudah lama menjadi kontraktor di lahan konsesi PT Gag Nikel di Raja Ampat. 


“Kontraknya tidak besar, kecil-kecil saja. Paling cuma 1 juta ton per tahun. Itu kan kecil dibanding kontraktor-kontraktor lain di PT Gag Nikel,” kata mantan Guber­nur Sulawesi Utara tersebut kepada Tempo, Sabtu, 14 Juni 2025.


Politikus Partai Demokrasi Indonesia Per­juangan itu memberi penjelasan kare­na namanya muncul dalam pusaran per­kara pertambangan nikel di Pulau Gag. 


Menurut dokumen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum, PT Manado Karya Anugrah dimiliki istrinya, Rita Maya Tamutuan, yang menjadi pemegang saham mayoritas. Di sana juga terdapat nama politikus PDIP, Irene Golda Pinontoan.


Olly menjelaskan, ketika ayah mertua­nya meninggal, perusahaan tersebut sem­pat dialihkan kepada ibu mertuanya. 


Atas pertimbangan usia, Rita Maya kemudian menggantikan ibunya sebagai pemegang saham mayoritas. 


Menurut Olly, proyek penambangan bijih nikel di Pulau Gag didapatkan perusahaan karena kerja profesional, bukan karena ia politikus PDI Perjuangan.


Keterangan Olly berbeda dengan in­for­­­masi sejumlah narasumber yang di­te­mui Tempo. Seorang penegak hu­kum bercerita, mustahil perusahaan men­dapatkan proyek kontraktor di PT Gag Nikel tanpa melihat pemilik sahamnya. 


Sebab, sudah menjadi rahasia umum bah­wa konsesi PT Aneka Tambang Tbk menjadi bancakan. Apalagi, kata penegak hukum ini, Olly bendahara par­tai yang menjadi kontraktor sejak 2018.


PT Gag Nikel menjadi sorotan karena satu-satunya pemilik konsesi yang izinnya tidak dicabut Presiden Prabowo Subianto. 


Pelaksana Tugas Presiden Direktur PT Gag Nikel Arya Aditya mengatakan perusahaannya sudah menjalankan prinsip berkelanjutan dalam beroperasi. 


“Sejak produksi perdana pada 2018, PT Gag Nikel beroperasi berdasarkan amdal (analisis mengenai dampak ling­kung­an) resmi dan diawasi oleh KLHK (Ke­menterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Arya dalam keterangan tertulis untuk Tempo.


Merujuk pada data pengapalan yang diperoleh Tempo, selain nama Olly, muncul na­ma perusahaan agensi logistik dan pe­milik kapal yang menjadi pengirim bijih nikel. Mereka rutin mengirimkan ni­kel dari area konsesi PT Gag Nikel ke sejumlah smelter di Weda, Maluku Utara. 


Perusahaan tersebut di antaranya PT Putra Remaja Lines, PT Pelayaran Bahtera Diserindo, PT Yuki Putra Samudera Shipp­ing, PT Trans Logistik Perkasa, PT WHS Global Mandiri, PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk, PT Aman Maritim Nusantara, dan PT Anaga Shipping Indonesia. Mereka tercatat rutin mengirim nikel dalam enam bulan terakhir.


Di antara nama-nama tersebut, PT Anaga Shipping Indonesia diduga tera­filiasi dengan Arif Kurniawan. Beberapa pengusaha nikel yang mengenal Arif menyebutnya sebagai pengusaha yang menjadi operator profesional dalam peng­operasian bisnis milik para politikus Jakarta. 


Nama Arif Kurniawan juga muncul sebagai penerima manfaat akhir pemegang saham PT Kawei Sejahtera Mining.


Menurut pejabat PT Antam, Kejaksaan Agung tengah mem­bidik Arif Kurniawan. Penyelidik mewawancarai perusahaan-perusahaan yang terkait dengan nama Arif dan nama lain dalam bisnis nikel di Raja Ampat. 


“Penyelidikan berjalan sebelum ramai-ramai isu tambang di Raja Ampat,” kata pejabat ini.


Tempo telah meminta konfirmasi Arif Kurniawan dengan mendatangi kantornya, PT Anaga Shipping Indonesia, di Jalan Sungai Gerong Nomor 1 & 1A 10, Ta­nah Abang, Jakarta Pusat. 


Namun petugas keamanan menjelaskan bahwa tidak ada nama perusahaan tersebut di Gedung Tata Puri ataupun Asia Pro Building. 


Selain itu, Tempo mengirim surat elektronik kepada sejumlah perusahaan yang tercatat dalam dokumen sebagai pengirim nikel, tapi tak berbalas.


Di mata Arie Rompas, juru kampanye Greenpeace Indonesia, kisruh tambang nikel di Raja Ampat hanya secuil contoh masalah besar tata kelola industri pertambangan. 


Pemerintah menerbitkan izin menambang di pulau-pulau kecil yang melanggara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 


“Sangat penting menghentikan kegiatan pertambangan di Indonesia pada wilayah yang seharusnya dilindungi secara hukum, baik pulau kecil maupun konservasi di darat dan laut,” kata Arie, Selasa, 10 Juni 2025.


Sumber: Tempo

Komentar