Analisa Asing Atas Pemakzulan Gibran: Manuver, Ilusi, atau Ancaman Nyata?
Gibran mungkin tak akan dimakzulkan. Tapi bayang-bayang pemakzulan itu akan terus mengikuti langkah politiknya. Seperti bayangan yang tak bisa dihapus, hanya bisa dipanjangkan oleh cahaya kekuasaan.
Oleh: Shawn Corrigan
Indonesia Business and Political Analyst
Akan kah Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden pertama dalam sejarah Indonesia yang dimakzulkan?
Pertanyaan itulah yang belakangan ini menghiasi obrolan warung kopi hingga perbincangan diplomatik antar ruang kedap udara.
Seolah menjadi babak lanjutan dari drama konstitusional Mahkamah Konstitusi yang sempat membuat publik mengerutkan dahi, kini publik kembali dibuat penasaran oleh surat dari sekelompok purnawirawan jenderal yang secara resmi dikirim ke DPR RI.
Surat itu singkat, tegas, dan menggugah: meminta DPR menjalankan tugasnya untuk memakzulkan Gibran karena dianggap tidak layak menjabat, lantaran naik ke kursi kekuasaan melalui putusan kontroversial MK yang waktu itu dipimpin oleh pamannya sendiri, Anwar Usman.
Dari sisi legal formal, surat tersebut telah diterima oleh DPR.
Namun, apakah ini akan mengarah pada proses pemakzulan yang sesungguhnya, atau hanya menjadi sekadar simbol perlawanan moral dan politis terhadap politik dinasti?
Secara prosedural, jalan menuju pemakzulan Gibran tidak mudah—untuk tidak menyebutnya nyaris mustahil.
Tahapan awal, yakni pembentukan hak menyelidiki (hak angket atau hak menyatakan pendapat), memang bisa diinisiasi oleh sejumlah fraksi di DPR.
Namun realitasnya, mayoritas partai-partai di parlemen saat ini adalah bagian dari koalisi yang mendukung Gibran dan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Tanpa restu dari elite partai, langkah ini akan mentok di ruang rapat fraksi.
Pun jika keajaiban politik terjadi dan DPR berhasil meloloskan tahap awal, tahapan selanjutnya justru lebih berat.
Sidang paripurna harus dihadiri oleh dua pertiga dari 580 anggota DPR, dan dua pertiga dari mereka harus menyetujui untuk melanjutkan perkara ke Mahkamah Konstitusi.
Di MK, persoalan kembali menjadi kompleks, mengingat institusi itu belum sepenuhnya pulih dari krisis legitimasi akibat putusan yang meloloskan Gibran sejak awal.
Dan seandainya MK menilai bahwa ada pelanggaran hukum yang berat, keputusan akhir tetap berada di tangan MPR.
Namun untuk bisa melakukan pemungutan suara, MPR harus dihadiri oleh tiga perempat dari seluruh anggota, dan dua pertiga dari mereka harus setuju untuk memakzulkan.
Artinya, tidak hanya butuh suara, tapi juga momentum politik dan kekuatan moral yang jauh melampaui surat protes sekelompok jenderal.
Lantas, jika jalurnya begitu rumit dan hampir tak mungkin, mengapa surat itu dikirimkan? Inilah titik menariknya.
Analisa asing, sebagaimana tergambar dalam laporan-laporan informal think tank dan diplomasi di belakang layar, menilai bahwa ini bukan sekadar tentang upaya memakzulkan Gibran, melainkan strategi membangun narasi jangka panjang.
Dengan mengajukan surat pemakzulan saat ini—bahkan jika tidak akan pernah sampai pada tahap akhir—para penandatangan sedang meletakkan fondasi persepsi: bahwa Gibran naik ke kekuasaan dengan cara yang cacat, dan karena itu harus dibayar dengan “moral stain” yang melekat hingga 2029.
Saat itulah, jika Gibran mencalonkan diri sebagai presiden, lawan-lawan politiknya telah memiliki senjata naratif: “Dia bahkan pernah diajukan untuk dimakzulkan, apakah Anda mau orang seperti itu memimpin negara?”
Retorika ini bisa jauh lebih tajam dari hukum itu sendiri.
Apakah Gibran gentar? Belum ada tanda-tanda. Dia tetap tersenyum dalam setiap acara publik, bicara ringan, dan memilih diam dalam isu-isu besar.
Tetapi jika ia memahami dinamika politik seperti ayahnya, Jokowi, maka dia pasti sadar: surat itu bukan sekadar kertas. Itu adalah sinyal.
Bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk partai-partai besar, istana, dan pemilih muda yang akan jadi penentu pada 2029.
Dalam politik, terutama di republik seperti Indonesia, pemakzulan tidak selalu dimaksudkan untuk menang di pengadilan.
Kadang ia hanya perlu cukup gaduh untuk mengubah arah sejarah. Dan di titik itulah, surat para jenderal itu sedang bekerja. ***
Artikel Terkait
[ANALISIS] Peringatan Keras Panglima TNI Untuk Prajurit Aktif Rangkap Jabatan
Jokowi Diminta Sembunyi Dulu 5 Tahun
Tegas! Dikontak Pertamina, Fitra Eri Tolak Tawaran untuk Bantah Isu Pertamax Oplosan
Intip Dua Sosok Istri Tersangka Mega Korupsi Minyak Mentah, Langsung Gembok Akun Medsos