POLHUKAM.ID - Forum Purnawirawan TNI beberapa waktu lalu melayangkan surat ke DPR dan MPR mendesak pemakzulan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka.
Dalam suratnya, forum membeberkan sejumlah alasan terkait pemakzulan Gibran.
Mereka secara resmi telah menyerahkan naskah usulan pemakzulan Gibran kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menuntut agar Gibran didiskualifikasi dari jabatannya.
Namun, usulan yang sarat akan muatan politik ini tampak belum beranjak dari meja pimpinan dan berpotensi mandek di tengah jalan alias mejan.
Surat bertanggal 26 Mei 2025 itu ditandatangani oleh empat purnawirawan jenderal TNI, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Forum ini menilai pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024 cacat secara konstitusional.
Akar masalahnya, menurut mereka, adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden.
Putusan itu dianggap sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap konstitusi dan sarat dengan nepotisme, mengingat Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman dari Gibran.
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu seharusnya batal demi hukum karena Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari majelis hakim, padahal memiliki konflik kepentingan,” demikian bunyi isi surat tersebut.
Dalam naskah usulannya, Forum Purnawirawan TNI merinci sejumlah alasan yang mereka anggap sebagai dasar kuat untuk pemakzulan.
Mereka menyoroti pelanggaran sumpah jabatan oleh Presiden Joko Widodo yang dinilai memfasilitasi putranya, serta pelanggaran etika berat oleh hakim konstitusi.
"Ini bukan lagi soal kalah atau menang dalam pemilu, tetapi tentang penyelamatan konstitusi dan masa depan demokrasi Indonesia. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus menggunakan wewenangnya untuk meluruskan ini,".
Dokumen tersebut telah diterima oleh perwakilan dari Sekretariat Jenderal DPR untuk diteruskan kepada pimpinan dewan.
Meskipun desakan telah disampaikan secara formal, bola panas kini berada di tangan DPR yang tampak ragu untuk melangkah.
Hingga saat ini, belum ada agenda resmi dari pimpinan DPR maupun Badan Musyawarah (Bamus) untuk membahas usulan tersebut.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai bahwa usulan ini kemungkinan besar akan bernasib sama seperti wacana hak angket kecurangan pemilu yang sebelumnya juga kencang disuarakan.
"Secara politik, ini akan sangat sulit terwujud. Koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran menguasai mayoritas kursi di DPR. Mereka tentu akan menjadi benteng utama yang menghalangi setiap upaya pemakzulan," kata Ujang baru-baru ini.
Menurut Ujang, proses pemakzulan secara prosedural sangat panjang dan berliku.
Usulan harus diajukan oleh minimal 25 anggota DPR, disetujui dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh minimal 2/3 anggota, dan disetujui oleh minimal 2/3 dari yang hadir.
Setelah itu, DPR harus meminta pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
"Melihat konstelasi politik saat ini, mendapatkan angka-angka tersebut nyaris mustahil. Partai-partai politik lebih memilih untuk fokus pada pembagian kekuasaan dan posisi di pemerintahan mendatang daripada membuka kembali kotak pandora sengketa pemilu," jelasnya.
Sikap diam DPR ini menimbulkan pertanyaan di kalangan publik, apakah parlemen benar-benar menyerap aspirasi atau justru tersandera oleh kepentingan politik jangka pendek koalisi.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Nadiem Makarim Dicegah Sebelum Pemeriksaan Perdana, Potensi Tersangka?
Dua Kali Mangkir, KPK Ancam Jemput Paksa Politikus Gerindra Gus Sadad
Fantastis! UGM Digugat Rp 1.000 Triliun Gegara Ijazah Jokowi, Dipicu Masalah Dokumen Kampus
Makin Panas! Ridwan Kamil Gugat Balik Lisa Mariana, Minta Ganti Rugi Rp105 Miliar