Menarik! Telaah Mitos Sosial Terhadap Pemakzulan Wakil Presiden

- Senin, 30 Juni 2025 | 17:05 WIB
Menarik! Telaah Mitos Sosial Terhadap Pemakzulan Wakil Presiden

Jika dikaitkan dengan fenomena politik hari ini, resistensi terhadap keberadaan dan legitimasi Wakil Presiden dapat dilihat sebagai reaksi terhadap trauma sosial-politik yang belum selesai. 


Segmen masyarakat yang merasa bahwa nilai-nilai etik dan norma politik telah dilanggar, justru memperlihatkan gejala keterdesakan: ingin mengembalikan situasi ke arah stabilitas lama. 


Inilah yang menjelaskan mengapa proses pemakzulan—meskipun konstitusional—tetap memantik dinamika politik yang panas dan berlarut.


Keamanan Dasar dan Norma: Dua Sumbu Penolakan Perubahan


Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu melahirkan trauma. 


Ia hanya ditolak jika memenuhi dua kondisi: pertama, mengancam basic security atau rasa aman individu/kelompok; kedua, bertentangan dengan norma sosial dan etika kolektif. 


Dalam fenomena ini, dua kutub terbentuk: satu pihak merasa perubahan dalam struktur kekuasaan nasional mengganggu kualitas demokrasi yang dibangun pascareformasi; pihak lain melihat keberadaan wakil pemimpin tersebut sebagai produk sah dari demokrasi yang telah berlangsung.


Kedua pihak merasa berada dalam kondisi defensif. Pihak yang merasa tatanan moral politik dilanggar menyatakan perlawanan atas dasar etika. 


Sementara yang berada di lingkaran kekuasaan merasa perlu mempertahankan posisi sebagai bagian dari konsistensi sistem. 


Ketegangan ini menciptakan suasana politik yang menyerupai medan kontestasi ideologis yang tak mudah didamaikan.


Syariati dan Muthahhari: Siapa yang Menolak Perubahan?


Ali Syariati, dalam tafsir sosial atas Al-Qur’an, menyebut bahwa elite kapitalis atau kelompok kaya sering menjadi penentang perubahan karena merasa kehilangan posisi dominan. 


Namun Murtadha Muthahhari memberikan catatan korektif: penentang perubahan bukan terbatas pada kapitalis, melainkan siapa saja yang merasa kepentingan, posisi, atau simbol statusnya terganggu oleh hadirnya tatanan baru.


Dengan kacamata ini, reaksi terhadap Wakil Presiden hari ini bukan semata karena persoalan legal-formal, tapi juga berkaitan dengan perasaan terganggunya tatanan simbolik kekuasaan. 


Ketika aktor-aktor baru muncul dalam panggung kekuasaan tanpa melewati seleksi moral atau etis yang disepakati bersama, maka resistensi yang muncul bisa berbentuk gerakan kolektif, seperti aspirasi pemakzulan.


Penutup: Menakar Arah Demokrasi dalam Kabut Trauma


Wacana pemakzulan bukanlah gejala politik yang berdiri sendiri. Ia merepresentasikan ketegangan antara arus perubahan dan ketakutan terhadap ketidakteraturan. 


Mitos trauma sosial, cultural lag, serta krisis nilai yang menyertainya menandai bahwa demokrasi kita masih berjalan di atas fondasi yang belum kokoh secara budaya.


Jika elite politik dan masyarakat terus menanggapi perubahan dengan ketakutan dan resistensi emosional, maka arah demokrasi akan terus mengalami turbulensi. 


Proses pemakzulan yang konstitusional seharusnya tidak menjadi alat resistensi terhadap perubahan, tetapi justru menjadi koreksi sistem yang dilakukan dengan jernih, legal, dan objektif—bukan sebagai pelampiasan trauma sosial-politik yang belum tuntas. ***


Sumber: Kumparan

Halaman:

Komentar