Kenapa Nama yang Didoakan Ulama, Malah Dihapus oleh Penguasa?
Ada sebuah rumah sakit yang dibangun dari keringat umat.
Bukan proyek BUMN, bukan hasil Musrenbang, bukan pula hibah luar negeri.
Rumah sakit ini berdiri atas inisiatif ulama.
Peletakan batu pertamanya pun tidak sembarangan:
Di hari Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan 1414 H.
Namanya? Rumah Sakit Islam Al Ihsan.
Nama ini bukan sekadar identitas formal. Tapi juga doa, ruh, dan cita-cita.
“Ihsan” satu maqam tertinggi dalam Islam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ dalam Hadits Jibril.
Tapi hari ini, datang seorang pejabat bernama Dedy Mulyadi,
mengganti nama itu begitu saja menjadi RSUD Welas Asih.
Alasannya: “Biar lebih Sunda.”
Alasan klise dari mereka yang alergi simbol Arab,
tapi pas Pemilu doyan banget pakai citra Islam.
Yang Bangun Ulama, Yang Hapus Politisi
Kalau kamu kira rumah sakit ini dibangun pemerintah, kamu salah besar.
RS Al Ihsan ini didirikan pada 15 Januari 1993 oleh enam tokoh umat melalui Yayasan Al Ihsan:
Tujuannya mulia dan konkret:
Agar masyarakat kecil bisa mengakses kesehatan yang layak, murah, dan bermartabat.
Tahun segitu—para ulama dan tokoh umat sibuk bangun fasilitas untuk rakyat.
Pak Dedy?
Mungkin masih sibuk urus kampus swasta sambil bawa rumput buat kambing.
Tapi anehnya, sekarang beliau yang merasa paling berhak ganti namanya.
Rumah Umat Dijadikan Alat Citra
Peletakan batu pertamanya terjadi pada 11 Maret 1993, bertepatan dengan 17 Ramadhan.
Ada ulama, ormas, dan beberapa pejabat hadir,
tapi napasnya satu: ini amal umat. Bukan proyek narsis birokrat.
Kini rumah yang dibangun ulama, diberi nama baru oleh seorang politisi.
Katanya “Al Ihsan” terlalu Arab. Padahal sejak kapan Islam merusak budaya Sunda?
Menghapus Nama Islami Atas Nama Lokalitas: Kita Pernah Dengar yang Begini
Ini bukan soal satu nama rumah sakit.
Ini soal pola pikir: menghapus simbol-simbol Islam dengan alasan “lokalisasi.”
Dengan dalih: biar lebih “nasional”, “budaya”, atau “kearifan lokal.”
Mengganti nama “Al Ihsan” dengan alasan “bukan budaya Sunda” mungkin terdengar sepele.
Tapi dalam sejarah, kita sudah pernah melihat pola seperti ini.
Dan akibatnya—fatal.
Mari kita tengok Turki tahun 1920-an.
Negara yang sebelumnya jadi pusat Khilafah Islam selama 6 abad.
Ketika Khilafah Utsmaniyah runtuh,
Mustafa Kemal Atatürk naik jadi penguasa.
Lalu apa langkah pertamanya?
Menghapus jejak Islam dari ruang publik.
Kenapa?
Karena menurut Atatürk, Islam dianggap penghambat kemajuan.
Tulisan Arab? Katanya simbol keterbelakangan.
Adat Islam? Dinilai kuno dan tak cocok untuk dunia modern.
Maka ia mulai program besar-besaran:
Mengasingkan rakyat Turki dari identitas Islam.
Mulai dari perubahan nama nama Pemerintah, Hukum hingga Bahasa Keseharian. Puncaknya, Atatürk memaksa rakyat melafalkan adzan bukan lagi:
“Allahu Akbar”,
tapi:
“Tanrı uludur” (Tuhan Maha Besar, versi Turki)
Kalimat “Hayya ‘ala al-falah” diganti jadi “Haydi kurtuluşa”.
Masjid-masjid dijaga polisi.
Muadzin yang tetap adzan pakai bahasa Arab bisa ditangkap.
Bukan sekadar soal bahasa. Ini soal memutus akar ruhani umat dari agamanya.
Satu generasi pun tumbuh buta huruf terhadap Qur’an klasik, kitab tafsir, kitab fiqih, bahkan naskah sejarah nenek moyang mereka.
Akibatnya?
Anak muda Turki tidak tahu siapa dirinya.
Yang bisa mereka baca hanya ideologi Barat.
Mereka dipaksa modern, tapi kehilangan arah.
Kalau alasan mengganti “Al Ihsan” karena katanya bukan budaya Sunda,
maka sekalian aja ganti:
• “Kamar jenazah” jadi “kamar bangkai”
• “Hakim” diganti jadi “pangadilan”
• “Sidang” diganti jadi “ngariung hukum”
• Dan jangan lupa: hapus juga kata zakat, adzan, ujian, jenazah semuanya dari bahasa Arab.
Tapi kenapa cuma nama yang berbau Islam yang dihapus?
Kenapa cuma yang berakar dari agama yang dianggap “asing”?
Kalau ini bukan Islamofobia, lalu apa?
Mengangkat Budaya Sunda Bukan Berarti Membuang Islam
Padahal kalau ditelusuri, budaya Sunda tidak pernah alergi terhadap Islam.
Sunda itu dibesarkan pesantren, bukan disekolahkan Barat.
Sunda mengenal Nyi Mas Ratu Bagus, K.H. Abdul Halim, Ajengan Sukapura, dan para ulama sufi.
Sunda menghafal Qur’an sejak kecil.
Sunda merindukan Ihsan, bukan cuma Welas Asih.
Sunda dibesarkan oleh pesantren.
Dijaga oleh ulama.
Dihormati oleh orang-orang yang bersujud, bukan oleh orang orang yang hasud.
Sunda tidak takut pada kata “Al Ihsan.”
Justru dari tanah Sunda lahir para penghafal Qur’an, pendakwah tangguh, dan penjaga aqidah.
Pak Dedy, hari ini Anda mungkin punya kekuasaan.
Tapi nama itu bukan sekadar papan.
Ia adalah simbol darah, keringat, dan air mata umat.
“Al Ihsan” bukan sekadar label administratif. Ia maqam,
satu tingkat di atas iman dan Islam.
Kami hanya mengingatkan:
Ketika identitas agama mulai dihapus atas nama budaya, maka yang datang berikutnya bukan kearifan, tapi keterasingan. ***
Artikel Terkait
[UPDATE] Alumni UGM Bergerak, Ultimatum Rektor dan Jokowi Terkait Ijazah Palsu: 7 Poin Tuntutan Penting!
Ini Sosok Menteri Majid yang Kawal Ketat Prabowo saat Menjalani Umroh
LAGI! Pengakuan Eks Pegawai Kominfo: Ada Restu Dari Menteri Budi Arie Untuk Amankan Situs Judi Online
Ajudan dan Kuasa Hukum Jokowi Datangi Polda Metro, Ada Apa?