Perekat Nusantara Ultimatum Gibran: Mundur atau Dimundurkan!

- Kamis, 03 Juli 2025 | 14:45 WIB
Perekat Nusantara Ultimatum Gibran: Mundur atau Dimundurkan!


Perekat Nusantara Ultimatum Gibran: Mundur atau Dimundurkan!




Maka hanya ada satu pilihan: mundur atau dimundurkan!


Itulah ultimatum yang dilayangkan para advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat (Perekat) Nusantara dan Tim Pembela Denokrasi Indonesia (TPDI). 


Ultimatum itu disampaikan dalam bentuk surat somasi yang diantarkan ke Istana Wakil Presiden di Jakarta, Rabu (2/7/2025).


Mereka yang “menggeruduk” kantor Gibran antara lain Petrus Selestinus selalu Koordinator Perekat Nusantara dan TPDI, Erick S Paat, Carrel Ticualu, Robert B Keytimu, Jemmy Mokolensang, Ricky D Moningka, Firman Tendry Masange, Jahmada Girsang dan Posma GP Siahaan.


Mereka memberi ultimatum selama 7 hari sejak surat somasi diserahkan. 


“Jika dalam 7 hari tidak mundur, maka Gibran akan dimundurkan oleh MPR. Aspirasi ini akan kita bawa ke MPR,” kata Petrus Selestinus usai menyerahkan surat somasi.


Ya, menjelang Sidang Tahunan MPR, yang biasanya digelar pada 16 Agustus, Perekat Nusantara dan TPDI melayangkan somasi kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka


Mereka mendesak agar anak sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo itu mundur karena tidak memenuhi syarat lagi sebagai wapres.


Jika Gibran tak mau mundur, mereka mendesak agar Sidang Tahunan MPR 2025 mengagendakan pendiskulifikasian Gibran sebagai wapres. 


“Kalau tak mau mundur, MPR harus mendiskualifikasi Gibran,” tegas Petrus.


Desakan yang sama sudah pernah mereka sampaikan sebelum MPR melantik Prabowo Subianto sebagai Presiden RI dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2024 lalu.


Sejumlah alasan pun dipaparkan sebagai dasar mereka mendesak Gibran mundur atau didiskualifikasi oleh MPR.


“Meskipun dalam Sidang MPR 20 Oktober 2024 tidak dibahas surat kami, dan MPR tetap melantik Gibran, namun oleh karena surat kami bagian dari aspirasi masyarakat, sesuai ketentuan Pasal 5 huruf d dan Pasal 10 huruf b UU No 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, maka wajib hukumnya bagi MPR untuk menyerap dan mempertimbangkan pada Sidang Tahunan MPR berikutnya, sesuai ketentuan Pasal 2 UUD 1945, untuk mendiskualifikasi Gibran,” cetus Petrus.


Pun, kata Petrus, karena terdapat peristiwa dan fakta hukum yang muncul sebelum, selama dan sesudah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024


“Terlebih selama proses uji materi perkara No 90/PUU-XXI/2023, proses pencalonan Gibran sebagai cawapres, dan pasca-penetapan capres-cawapres terpilih oleh KPU pada 24 April 2024, bahkan hingga pelantikan presiden-wapres terpilih pada 20 Oktober 2024 (selama jedah waktu 6 bulan), banyak hal terjadi di ruang publik, namun tidak semua persoalan itu boleh dijadikan objek sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), karena Pasal 427 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum membuka pintu untuk mendiskualifikasi cawapres terpilih jika berhalangan tetap,” papar Petrus.


"Padahal, katanya, peristiwa dan fakta hukum dimaksud telah menunjukkan betapa proses pencalonan hingga pelantikan Gibran cacat hukum dan moral karena melanggar konstitusi dan perundang-undangan, sehingga posisinya dalam keadaan berhalangan tetap, sehingga seharusnya tidak dilantik oleh MPR, sesuai Pasal 427 UU Pemilu,” terangnya.


Adapun peristiwa dan fakta Hukum dimaksud, ditegaskan Petrus sebagai berikut:


Pertama, Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023 dan Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam Perkara Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi No 2, No 3, No 4 dan No 5/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023 yang sangat penting dan menentukan bagi keabsahan pencawapresan Gibran, karena Putusan MK dan MKMK dimaksud tidak hanya berimplikasi hukum kepada Hakim Konstitusi Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK dan 8 Hakim Konstitusi lainnya diberi sanksi administratif berupa teguran tertulis dan lisan, akan tetapi juga berimplikasi hukum pada tidak sahnya Putusan MK No 90/PUUXXI/2023 tersebut, dengan segala akibat hukumnya.


Kedua, dengan demikian Putusan MK 90/2023 dan Putusan MKMK No 2, No 3, No 4 dan No 5/MKMK/L/11/2023 merupakan peristiwa dan fakta hukum yang sangat penting dan menentukan yang memastikan keberadaan Gibran sebagai Wapres RI periode 2024-2029 cacat hukum, tidak sah dan batal demi hukum, sehingga Gibran dalam posisi berhalangan tetap, dan seharusnya tidak dilantik sebagai Wapres sesuai Pasal 427 ayat (2) UU Pemilu.


Ketiga, penjatuhan sanksi administratif berupa pemberhentian Ketua MK Anwar Usman, dan teguran tertulis dan/atau lisan kepada 8 Hakim Konstitusi lainnya berikut terpilihnya Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai Ketua MK pada 9 November 2023 menjadi bukti terkuat yang merupakan peristiwa dan fakta hukum yang sangat penting dan menentukan soal konstitusionalitas pencawapresan Gibran, karena MK berada dalam cengkeraman dinasti politik Jokowi ketika memutus Perkara No 90/2023.


Keempat, dengan demikian secara konstitusi hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin oleh ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 angka 1 dan 3 dan Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 17 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga berimplikasi hukum kepada tidak sahnya putusan MK, sekaligus menempatkan Gibran sebagai cawapres terpilih yang pada 20 Oktober 2024 berada dalam posisi berhalamgan tetap, yang seharusnya tidak dilantik sesuai Pasal 427 ayat (2) UU Pemilu.


Kelima, Pasal 13 ayat (1) huruf q Peraturan KPU No 19 Tahun 2023 tentang Persyaratan Usia Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden minimal 40 tahun tetap berlaku pasca-Putusan MK No 90/2023, karena secara hukum KPU baru boleh mengubah PKPU dimaksud manakala DPR RI telah melaksanakan Putusan MK No.90/PUU-XXI2023, yaitu mengubah ketentuan batas umur capres-cawspres dalam Perubahan UU Pemilu.


Keenam, selain itu, pendaftaran Gibran sebagai bakal cawapres di KPU diterima dan dinyatakan sebagai telah memenuhi syarat sebelum KPU mengubah Pasal 13 ayat (1) huruf q Peraturan KPU No 19 Tahun 2023 dimaksud, juga berimplikasi hukum kepada pencawapresan Gibran menjadi cacat hukum dan tidak sah karena Putusan MK No 90/2023 seharusnya dieksekusi terlebih dahulu oleh DPR dengan mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu, kemudian KPU boleh mengubah Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU No 19 Tahun 2023, namun dilangkahi KPU.


Ketujuh, unggahan akun Fufufafa yang viral karena disebut-sebut sebagai milik Gibran telah menyeret nama bekas Walikota Solo itu sebagai cawapres terpilih, dan kini wapres, sudah menjadi bola liar namun dibiarkan oleh Gibran, Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang Kemenkomdigi) tanpa ada klarifikasi, tanpa langkah penindakan dari segi penegakan hukum dan berimplikasi memicu lahirnya krisis kepercayaan publik yang meluas, bukan saja terhadap Gibran, tetapi juga terhadap Jokowi meski tidak lagi menjabat Presiden RI.

 

Kedelapan, terdapat muatan penghinaan, penyebaran berita bohong yang menimbulkan rasa kebencian, aspek asusila dan berorientasi seksual yang tidak sehat pada si pemilik akun Fufufafa, sehingga runtuhlah kepercayaan publik terhadap lembaga Kepolisian RI, MK, KPU, DPR dan Presiden/Wapres semakin meluas.


Kesembilan, publik kemudian meyakini pemilik akun Fufufafa adalah Gibran, bahkan ada pakar telematika yang menyatakan bahwa 99,9% pemilik akun Fufufafa adalah Gibran, kemudian muncul tuntutan agar Gibran tidak dilantik menjadi Wapres.


Kesepuluh, publik juga telah memberikan penilaian antara lain tentang orientasi seksual yang tidak normal pada diri si pemilik akun dan sejumlah narasi yang tidak sepatutnya bahkan “terlarang” ditujukan kepada sejumlah tokoh publik atau publik figur lain, yang terjadi seputar tahun 2014 hingga 2019 (menjelang Pemilu 2019) di mana Capres Prabowo Subianto berhadapan secara “head to head” melawan Capres Jokowi.


Kesebelas, melihat narasi di dalam akun Kaskus Fufufafa, Gibran seharusnya mengklarifikasi dan memilih untuk mundur sebelum dilantik sebagai Wapres atau sekarang mundur dari jabatan Wapres, karena akun Fufufafa telah menimbulkan resistensi yang semakin eskalatif dan mengarah kepada terjadinya krisis kepercayaan publik yang semakin meluas terhadap pemerintah dan Wapres. Kini muncul tuntutan agar Gibran diperiksa terlebih dahulu kesehatan jiwa dan rohaninya.


Kedua belas, dengan demikian keberadaan Gibran sebagai Wapres telah mendelegitimasi pemerintahan hasil Pemilu 2024 dan membuat noda hitam dalam sejarah demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia, oleh karena itu untuk menormalisasi kembali keadaan, maka harus dilakukan 2 cara, yaitu Gibran mengundurkan diri dari jabatan Wapres; atau MPR RI mengadakan sidang tahunan untuk mendiskualifikasi Gibran dari jabatan Wapres.


“Maka demi keabsahan dan legitimasi pemerihan hasil Pemilu 2024, kami menyampaikan somasi pertama dan terakhir kepada Gibran agar dalam tempo 7 hari setelah menerima somasi ini segera menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Wapres RI. Apabila lewat dari 7 hari Gibran tidak mengundurkan diri, maka kami akan membawa permasalahan ini sebagai bagian dari aspirasi masyarakat dan mendesak MPR RI untuk menyelenggarakan sidang guna mendiskualifikasi Gibran dari jabaran Wapres RI,” tandasnya. 


Sumber: FusilatNews

Komentar