Negara Disandera Seorang Pembohong: Ketika Hukum Tunduk, Keadilan Tumbang!

- Rabu, 30 Juli 2025 | 13:35 WIB
Negara Disandera Seorang Pembohong: Ketika Hukum Tunduk, Keadilan Tumbang!

Di sebuah gang sempit, di pinggiran kota yang belum tersentuh anggaran APBN, saya pernah bertemu seorang anak muda berkaos kutang dan celana selutut. 


Di lehernya tumbuh kurap, merah, bulat, dan sedikit mengelupas. Ia tak malu. Ia tetap duduk santai di warung kopi, ngobrol sambil menggaruk pelan. 


Orang kampung sudah biasa, tak ada yang mengolok. Sebagian malah berkomentar: “Namanya juga orang jujur, apa adanya.”


Kini bayangkan, di tempat yang lebih mewah, di ruang ber-AC berlapis karpet merah, ada seorang yang dielu-elukan. Mobil dinasnya mentereng. 


Paspampres mengawal ke mana-mana. Suaranya dipancarkan ke seluruh negeri. Tapi satu hal tak pernah muncul ke permukaan: ijazah.


Sesuatu yang seharusnya membanggakan—hasil dari kerja keras, pendidikan, dan perjuangan akademik—justru disembunyikan rapat-rapat. Disamarkan. Dibelokkan. Dianggap tidak penting untuk ditunjukkan.


Ironi, bukan?


Di negeri ini, rakyat biasa kalau mau ngelamar jadi office boy saja ditanya ijazahnya. Sopir angkot sekarang harus ikut pelatihan, ditanyai sertifikat. 


Tapi orang yang mengatur negara, menandatangani undang-undang, dan mengendalikan nasib 270 juta jiwa… boleh lolos tanpa pertanggungjawaban akademik?


Mengapa ijazahmu lebih tersembunyi dari data intelijen?


Kenapa satu lembar dokumen yang seharusnya jadi kebanggaan itu tak pernah kau tunjukkan dengan kepala tegak?


Apakah karena memang tak ada? Atau karena yang ada… tak sesuai dengan cerita yang kau jual selama ini?


Pertanyaan ini terus bergema. Dari ruang-ruang diskusi warung kopi hingga meja akademisi yang masih berani berpikir waras. Tapi kau tak menjawab. Kau malah menertawakan. 


Kau kirim buzzer untuk membungkam suara sumbang. Kau ciptakan kabut lewat narasi ‘merakyat’, seolah-olah rakyat tak perlu tahu masa lalumu yang seharusnya terang benderang.


Sementara itu, rakyat diminta percaya.


Percaya pada pemimpin yang bahkan tak berani menunjukkan lembaran pendidikannya.


Betapa lucunya negeri ini. Kurap yang memalukan bisa diperlihatkan dengan jujur. 


Tapi ijazah yang membanggakan malah sembunyi di bawah meja, di balik protokoler, di lindung undang-undang yang kau putar sesuai selera.


Ini bukan soal pendidikan formal semata. Ini soal integritas. Soal akal sehat. 


Soal apakah seorang pemimpin masih menganggap kejujuran itu penting, atau cukup tampil di televisi dengan senyum palsu.


Sebab kalau rakyat kecil saja sanggup menunjukkan kurapnya, kenapa kau tak sanggup memperlihatkan ijazahmu?


Apa karena ijazahmu—tak sebersih yang selama ini kau klaim?


Kalau benar ada, tunjukkan. Kalau tak ada, katakan. Jangan mempermainkan kebodohan rakyat sebagai panggung sandiwara. 


Karena kepercayaan publik bukan barang mainan. Dan kebohongan yang dibiarkan tumbuh, hanya akan menjadi kanker dalam demokrasi.


Sebab tak ada luka yang lebih busuk dari dusta yang dilestarikan. ***

Halaman:

Komentar

Terpopuler