POLHUKAM.ID - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengapresiasi kesediaan DPR mendengarkan tuntutan masyarakat untuk menghapus tunjangan perumahan yang memang menjadi sumber kemarahan publik belakangan ini.
Gaji DPR yang sebelumnya mencapai Rp101 juta per bulan kini menjadi Rp65 juta per bulan.
"Akan tetapi jika melihat total take home pay bulanan anggota yang masih di level 65 juta (rupiah) per bulan, nampaknya tak penyesuaian signifikan pada tunjangan-tunjangan lain DPR. Jadi hanya tunjangan perumahan saja yang benar-benar dengan berani dihapus oleh DPR," kata Lucius saat dikonfirmasi Republika pada Ahad (7/9/2025).
Lucius mempertanyakan DPR bisa berani menghapus tunjangan perumahan tetapi tak berani menghapus beberapa tunjangan lain yang juga nampak berlebihan. Misalnya tunjangan komunikasi intensif senilai Rp 20.033.000 per bulan.
"Kan banyak tuh yang nanya, eksekusi tunjangan komunikasi intensif dengan masyarakat itu apa? Beli pulsa, beli paket, atau apa? Seintensif apa komunikasi anggota DPR dengan dukungan tunjungan sebesar itu?" ujar Lucius.
Lalu ada tunjangan jabatan dan tunjangan kehormatan anggota DPR RI. Menurut Lucius, dua tunjangan itu maknanya sama.
"Dua-duanya mau menghormati jabatan anggota DPR? Kenapa mesti dibikin menjadi dua jenis tunjangan? Apalagi nominal untuk masing-masingnya cukup besar," ujar Lucius.
Lucius juga mengamati tunjangan terkait peningkatan fungsi dan honorarium kegiatan pengikatan fungsi dewan nampak sama tujuannya, tetapi dibikin seolah-olah menjadi hal berbeda.
Lucius menduga item tunjangan ini menjadi semacam strategi untuk bisa menambah pundi anggota Dewan.
"Jenis tunjangan harus benar-benar dievaluasi manfaatnya. Kalau DPR dibilang tak cukup aspiratif, kan mestinya tunjangan komunikasi intensif itu jadi ngga bermakna. Begitu juga tunjangan kehormatan dan tunjangan untuk anggota DPR RI, ini kan dua jenis tunjangan yang sama-sama mau mengapresiasi jabatan atau fungsi seorang wakil rakyat?" sindir Lucius.
Tunjangan kunjungan kerja (kunker) anggota DPR RI juga dinilai masih tergolong sangat besar.
Lucius mengungkapkan anggota DPR masih memiliki tunjangan reses, tunjangan aspirasi, rumah aspirasi, dan lainnya.
"Tunjangan-tunjangan terkait reses dan aspirasi ini memang tak diberikan setiap bulan tetapi setiap kali reses dan kunjungan ke dapil," kata Lucius.
Lucius mengingatkan jumlah kunjungan seorang anggota DPR ke daerah pemilihannya totalnya bisa 12 kali.
Kunjungan ini dibagi dalam tiga klaster: kunjungan pada masa reses (lima kali), kunjungan pada masa sidang dan atau masa reses (satu kali setahun selama lima hari), kunjungan di luar masa reses dan di luar masa sidang (enam kali setahun).
"Kalau ditotal jumlahnya menjadi 12 kali. Itu artinya tunjangan reses dan kunker ke dapil sama saja dengan tunjangan-tunjangan bulanan lain itu," ujar Lucius.
Lucius menduga DPR mau mengakali supaya tidak terlihat menjadi bagian dari THP, sehingga tunjangan kunker ini dibuat semacam tunjangan per kunjungan saja.
Padahal, kunjungan ke dapil ini belum termasuk kunjungan kerja komisi, kunjungan kerja keluar negeri ya.
"Jadi dari kegiatan kunker dengan ragam jenisnya itu, pundi-pundi pendapatan anggota bisa jadi masih cukup banyak. Mestinya pimpinan DPR sekaligus menjelaskan soal varian kunker-kunker ini beserta klasifikasi tunjangannya masing-masing," ucap Lucius.
Selain itu, pimpinan DPR RI memang sudah menyepakati moratorium kunker luar negeri kalau bukan termasuk agenda kenegaraan.
Tapi menurut Lucius, kunker di dalam negeri justru tetap menjadi beban keuangan negara.
"Moratorium kunjungan keluar negeri ngga seberapa jika dibandingkan dengan kunjungan-kunjungan anggota ke dapil dengan jumlah keseluruhan menjadi 12 kali kunjungan," ujar Lucius.
Kini, pendapatan anggota DPR turun dari sebelumnya di atas Rp 100 juta per bulan menjadi sekitar Rp 65 juta per bulan.
Namun, gaji DPR sebesar Rp 65 juta per bulan itu masih 12 kali lipat dari upah minimum regional (UMR) tertinggi di Indonesia, yakni di Jakarta yang sebesar Rp 5,39 juta per bulan.
“Total take home pay mereka menjadi Rp 65,5 juta, apakah ini sudah menjawab kesenjangan yang dikeluhkan masyarakat?” kata Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya, dikutip Ahad (7/9/2025).
Menurut Achmad, publik yang selama ini menyandingkan pendapatan wakil rakyat dengan daya beli masyarakat, masih tetap bertanya-tanya mengenai keadilan di balik angka-angka tersebut.
“Inti masalahnya bukan hanya angka, melainkan rasa keadilan dan relevansi kinerja,” ujarnya.
Achmad menilai masih ada ruang pemangkasan anggaran untuk anggota dewan.
Menurutnya, perlu ditilik lebih lanjut mengenai faktor kebutuhan yang menunjang fungsi representasi dan pengawasan, bukan pada faktor keinginan yang bersifat simbolis atau formalitas belaka.
“Tunjangan beras dan beberapa fasilitas natura serupa sudah waktunya ditinjau ulang karena tak lagi sesuai konteks pejabat publik abad ke-21 yang penghasilannya cukup membeli kebutuhan dasar tanpa subsidi khusus,” tuturnya.
Kemudian, uang sidang harus dikaitkan ketat pada kinerja, misalnya berbasis output rapat, kualitas rekomendasi, serta tindak lanjutnya. Sehingga bukan sekadar kehadiran formal.
“Rasionalisasi juga mesti menyentuh DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Di banyak daerah, pola tunjangan meniru pusat, sementara kapasitas fiskalnya sempit. Akibatnya, ruang pembangunan publik tergerus belanja aparatur,” lanjutnya.
Achmad mengatakan, Pemerintah Pusat dapat mendorongnya lewat pedoman nasional tunjangan berbasis kinerja, seraya memberikan insentif fiskal bagi daerah yang berhasil menekan proporsi belanja pegawai dan menaikkan porsi belanja layanan publik.
“Intinya, masih ada ruang pemangkasan dan penataan ulang, namun harus cerdas: pangkas yang simbolik, pertahankan yang menunjang fungsi, dan tautkan seluruh fasilitas pada hasil kerja terukur,” tegasnya.
Lebih lanjut, Achmad menekankan kepada Pemerintah untuk benar-benar melakukan efisiensi yang tepat sasaran.
Menurutnya, pemangkasan tunjangan DPR hanyalah satu keping mosaik.
Keping terbesar ada di hulu, yakni bagaimana pemerintah merancang dan mengeksekusi program publik bernilai tambah tinggi.
“Di sinilah disiplin value for money dan spending review tahunan menjadi kunci,” kata dia.
Achmad mencatat ada lima hal yang perlu Pemerintah perhatikan dalam konteks tersebut. Pertama, peta tumpang tindih.
Artikel Terkait
Polisi Gerebek Pesta Gay di Surabaya, Ini Kronologi Lengkap yang Berawal dari Laporan Warga
Bocoran Dokumen hingga Pengacara! 4 Kesamaan Mengejutkan Proses Perceraian Andre Taulany dan Baim Wong
Sengkarut Utang Whoosh: Alasan Jokowi Tegaskan KCJB Bukan untuk Cari Untung
Satu Kembali, Sisanya Hilang: Daftar Lengkap Perhiasan yang Dicuri dari Louvre Paris