Bicara Realita: Peran Wakil Presiden Yang Mengecil, Menteri Yang Membesar

- Senin, 15 September 2025 | 00:45 WIB
Bicara Realita: Peran Wakil Presiden Yang Mengecil, Menteri Yang Membesar


Bicara Fakta: 'Peran Wakil Presiden Yang Mengecil, Menteri Yang Membesar'


DI PANGGUNG global, nama Indonesia digaungkan oleh seorang menteri. Sementara di panggung lokal, wakil presidennya membagi gula dan kopi ke warga ronda.


Konstitusi mungkin tidak berubah, tapi praktik kekuasaan jelas sedang diputarbalikkan, potret yang anomali.


Menjadi pemandangan politik yang cukup ironis dalam pemerintahan hari ini. Publik seperti atau seolah menyaksikan “wakil presiden yang tertukar”.


Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang sebenarnya hanya Menteri Koordinator, justru tampil di forum internasional strategis: Forum Urbanisasi BRICS ke-4 di Brasil, akhir Juni lalu.


Ia berpidato tentang kota berkelanjutan, perumahan layak, hingga adaptasi perubahan iklim—isu global yang biasanya jadi panggung presiden atau wakil presiden.


Kehadirannya di forum sebesar itu tentu menimbulkan tafsir politik: mengapa AHY yang tampil, bukan Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Republik Indonesia saat ini?


Sebaliknya, Gibran justru tampak sibuk dengan agenda-agenda yang relatif kecil. Awal September lalu, ia berkeliling Jakarta, meninjau pos ronda, membagi senter, kopi, dan gula kepada warga yang berjaga atau ronda malam.


Memang, secara simbolik kegiatan itu bisa dibaca sebagai upaya mendekatkan diri dengan rakyat. Namun, dalam hierarki kenegaraan, seorang wakil presiden mengurusi pos ronda jelas menimbulkan pertanyaan serius pada khalayak.


Kontras ini tidak berhenti di situ. Presiden Prabowo Subianto bahkan secara terbuka memuji AHY di panggung internasional.


Dalam sambutan penutupan International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di Jakarta, Prabowo menyebut AHY sebagai sosok yang mampu menerjemahkan arahannya dengan baik dalam pembangunan infrastruktur.


Ia menilai AHY tanggap, tidak perlu banyak instruksi, dan berhasil membawa Indonesia berbicara dengan bahasa visi besar di hadapan dunia atau mimbar internasional.


Bahkan, Prabowo menekankan pentingnya memilih “tim terbaik”, dan di hadapan ribuan peserta dari puluhan negara, ia menilai AHY berhasil memainkan peran itu.


Pujian seperti ini jarang sekali dilontarkan presiden kepada menterinya, termasuk untuk wapres Gibran—dan ketika itu terjadi, publik tentu membaca ada makna atau pesan politik di baliknya.


AHY sendiri turut menegaskan pembangunan infrastruktur di bawah kepemimpinan Prabowo kini berorientasi pada keberlanjutan, keadilan, dan kemakmuran jangka panjang.


Ia bicara lantang dan fasih soal kolaborasi global, menyebut dukungan World Bank, ADB, dan IFC sebagai bukti dunia menghormati Indonesia.


Sekali lagi, peran ini biasanya dimainkan atau domain presiden atau wakil presiden.


Fakta lain memperkuat kesan itu. Akhir Agustus lalu, ketika Presiden Prabowo harus memilih siapa yang mewakilinya dalam misi diplomatik ke China, pilihannya jatuh pada AHY, bukan Gibran.


Keputusan ini kembali memicu spekulasi atau pertanyaan publik: mengapa wakil presiden justru tidak dipercaya atau diberikan kesempatan menjalankan agenda strategis luar negeri?


Di saat AHY menjalankan misi kenegaraan di Beijing, Gibran malah menerima perwakilan pengemudi ojek online di Istana Wapres.


Agenda ini tentu penting dalam perspektif sosial, apalagi ia berjanji mengawal kasus kematian Affan Kurniawan, driver ojol yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat unjuk rasa.

Halaman:

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini