"Penelitian dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Riset Perkebunan Nusantara (RPN) ini yang perlu kita implementasikan untuk kemudian kita menemukan skala keekonomian dari produksi minyak goreng oleh koperasi," papar Zabadi
Bagi Zabadi, kehadiran Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga diharapkan dapat secara khusus mengawal proses standarisasi minyak goreng skala koperasi dan UMKM ini. Sehingga, masyarakat bisa mendapatkan pilihan yang rasional dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng yang sehat dan terjangkau.
Untuk mewujudkan piloting ini, Zabadi berharap dukungan pembiayaan baik di sisi onfarm, yaitu dengan KUR Perbankan dan dari kelembagaan koperasinya melalui LPDB-KUMKM, baik untuk kebutuhan modal investasi dan modal kerja.
Dalam kesempatan yang sama juga Zabadi menegaskan perlu adanya komitmen bersama (dalam bentuk kesepakatan) untuk pengembangan minyak sawit milik rakyat. "Ujungnya, kita dapat merumuskan model bisnis produksi minyak goreng oleh koperasi," tandas Zabadi.
Sementara itu, Deputi Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN Zakiyah menegaskan bahwa pihaknya akan mendukung koperasi dan UMK dalam menghadirkan produk berkualitas dengan pertimbangan kesehatan masyarakat dan lingkungan. "Kita dukung program KemenkopUKM dalam mendorong koperasi, juga usaha mikro dan kecil, memiliki industri minyak goreng sawit sendiri," ujar Zakiyah.
Zakiyah menjelaskan, sebelum diwajibkan SNI, harus terpenuhi dulu hasil analisa riset dan adanya teknologi yang sudah memungkinkan. "Kita memiliki program Bina UMK dimana ada pendampingan bagi UMK untuk mendapatkan SNI," ucap Zakiyah.
Untuk itu, Zakiyah mengajak seluruh stakeholder untuk berkolaborasi dalam penerapan standarisasi bagi UMK dengan proses yang simpel dan mudah. Ada kemudahan SNI untuk UMK risiko rendah. Mulai dari komitmen diaplikasi OSS-BKPM, aplikasi OSS, hingga Monev Online.
"BSN siap bekerjasama untuk menghasilkan standarisasi minyak goreng merah," tegas Zakiyah.
Narasumber lainnya, Ketua Apkasindo Kawali Tarigan menjelaskan bahwa dengan luas lahan kelapa sawit di Indonesia milik petani swadaya dan koperasi sebesar 42% dari total 16 juta hektar, sangat memungkinkan koperasi memiliki industri pengolahan minyak sawit sendiri.
"Andai kita memiliki pabrik sendiri, cukup dengan kapasitas produksi 15 ton/jam. Bahkan, yang ada di Pelalawan Riau, kapasitasnya sudah mencapai 30 ton/jam, dengan luas lahan sebesar 7000 hektar," ulas Kawali.
Dengan begitu, lanjut Kawali, petani swadaya tidak lagi bergantung pada keberadaan pabrik-pabrik minyak sawit milik korporat besar. "Banyak potensi yang bisa kita kembangkan, sehingga petani juga bisa naik kelas, tidak lagi bergantung pada pabrik minyak goreng yang ada," kata Kawali.
Oleh karena itu, Apkasindo sangat mendukung koperasi memiliki pabrik dan refinary hingga penyuplai minyak goreng. "Asosiasi siap membantu membangun pabrik di seluruh Indonesia, dengan modal kurang lebih sekitar Rp100 miliar," ungkap Kawali.
Namun, ungkap Kawali, untuk mewujudkan Minyak Goreng Sawit milik koperasi tersebut, masih ada beberapa kendala menghadang. Diantaranya, kebun masih berpencar-pencar, belum ada kepastian pasar, teknologi masih manual, modal usaha, hingga adanya tekanan korporasi besar terhadap petani.
"Tapi, ada juga peluang besar yang bisa dimanfaatkan. Yakni, sudah ada Koperasi Apkasindo, bahan baku melimpah, dan kebun kelapa sawit ada di 22 provinsi di Indonesia," pungkas Kawali.
Sumber: suara.com
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur