"Tentu kami tidak menginginkan hal seperti itu terjadi di Indonesia. Tentu kami menginginkan Polri bisa secara transparan dan akuntabel bahwa mereka tidak menggunakan alat-alat yang bisa digunakan untuk operasi pembungkaman,” Diky menjelaskan.
Sampai berita ini diterbitkan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, belum menjawab permintaan komentar dari BBC. “Saya tanyakan dulu,” katanya dalam pesan singkat.
Namun, Kepala Divisi Teknologi, Informatika, dan Komunikasi Polri, Inspektur Jenderal Slamet Uliandi, telah mengatakan kepada tim IndonesiaLeaks Juni lalu bahwa lembaganya memang pernah menggunakan alat sadap dengan metode zero click, namun tidak pernah menggunakan Pegasus.
Dalam wawancara yang dimuat di Majalah Tempo, Slamet mengatakan alat sadap yang didatangkan Polri pada 2017 dan 2018 merupakan intrusion system.
Slamet juga membantah bahwa Polri menggunakan spyware atau malware, menyebut perangkat tersebut hanya digunakan oleh peretas atau hacker.
Bagaimanapun, Diky Anandya dari ICW berkeras bahwa meskipun kepolisian sudah pernah membantah bahwa alat sadap yang mereka gunakan adalah Pegasus, ada kemiripan terkait dengan instrumen yang digunakan.
Dia menegaskan bahwa permohonan keterbukaan informasi sudah sejalan dengan undang-undang, yaitu Pasal 11 Ayat 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Pasal 15 Ayat 9 Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.
Perlukah polisi membuka informasi?
Chairman Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja, berpendapat bahwa Polri tidak punya kewajiban untuk menjelaskan tentang alat sadap yang mereka gunakan karena itu dapat mengganggu proses penyidikan yang mungkin sedang berjalan.
Namun, dia yakin bahwa polisi hanya menggunakan alat sadap pada pelaku kejahatan, dan mereka tidak melakukannya tanpa perintah hukum.
“Harus ada surat perintahnya dari pengadilan atau kejaksaan bahwa diizinkan melakukan itu. Dan mereka pegang sekali etika itu setahu saya,” kata Ardi.
Ardi menjelaskan pembuat alat sadap sekelas Pegasus biasanya hanya mau menjual secara government-to-government dan hanya untuk kepentingan penegakan hukum.
Tapi celakanya, sekarang banyak broker yang menawarkan teknologi penyadapan seperti ini ke berbagai tempat di dunia — dan teknologi itu tidak hanya ditawarkan pada penegak hukum.
"Semua punya, semua pernah. Ada yang enggak bermerek, ada yang bermerek ya, bahkan ada juga yang buatan peretas itu dijual ditawarkan ke kita. Saya enggak tahu siapa lagi yang pakai, tapi di luar aparat penegak hukum alat-alat ini memang ada. Ada dijual bebas,” ujarnya.
Spesialis keamanan siber dan pendiri Vaksincom, Alfons Tanujaya, menjelaskan tidak semua alat sadap yang menggunakan metode zero-click adalah Pegasus.
Pada prinsipnya, kata Alfons, zero-click adalah aplikasi untuk mengeksploitasi celah keamanan pada suatu perangkat lunak.
Setiap software memiliki celah keamanan. Ketika celah itu ketahuan, pembuatnya biasanya membuat perbaikan yang disebut patch untuk menambal celah itu. Namun bila belum ketahuan, celah itu bisa dieksploitasi.
Menurut Alfons, istilah zero-click tidak hanya mengacu pada cara pemasangan spyware di mana sasaran tidak perlu mengeklik, tapi juga zero-day vulnerability yaitu hari nol ketika ditemukan celah keamanan dan belum ada tambalannya.
“Contohnya begini: ada perusahaan di Indonesia menemukan ada celah keamanan di WhatsApp dan banyak orang belum tahu. Nah dengan kode yang dia buat secara khusus WhatsApp siapapun bisa ditembus dengan program itu begitu, maka dia bisa buat software dan software itu namanya zero-click juga,” ujarnya.
Maka dari itu, Alfons menegaskan bahwa kita tidak bisa berasumsi bahwa Polri menggunakan Pegasus hanya berdasarkan informasi pengadaan alat sadap zero-click.
Senada dengan Ardi, Alfons merasa penegak hukum tidak perlu mengungkap secara detail alat sadap yang mereka gunakan serta siapa sasarannya. Namun seandainya ada penyalahgunaan, maka itu harus dibuktikan.
“Yang merasa dipersekusi atau dieksploitasi itu harus mencari buktinya. Misalnya, ada handphone atau apa yang mencurigakan. mereka harus cepat-cepat diforensik. Nah berdasarkan bukti itu baru kita bisa ngomong (bahwa kita disadap),” ujarnya.
Sementara itu, peneliti ICW, Tibikor Zabar, mengatakan pihaknya memiliki waktu 14 hari untuk mendapatkan akses terhadap informasi pengadaan alat sadap zero-click Polri.
Jika informasi itu tidak kunjung didapatkan, ICW akan mengajukan keberatan dan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Pusat (KIP).
"Ya kami tentu akan menggunakan mekanisme yang ada yaitu mengajukan keberatan. Bahkan jika ternyata juga masih belum mendapatkan respons ya bukan tidak mungkin kami bisa mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat," ujarnya.
Sumber: kumparan
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur