"Bagi saya tidak masuk akal kalau alasannya adalah konservasi, lebih cenderung komersialisasi," kata Deddy dalam siaran persnya, Senin (6/6).
Menurut dia, bila niatnya ingin membatasi jumlah pengunjung yang boleh naik ke Candi Borobudur tetap di angka 1.200 orang, tidak harus menaikkan harga. "Lakukan saja kebijakan, siapa yang datang lebih dulu, boleh naik hingga jumlah maksimum yang ditetapkan. Atau siapa yang mendaftar lebih dulu melalui aplikasi, boleh naik," ungkap Legislator dari Dapil Kalimantan Utara itu.
Dia menyarankan akan lebih baik jika dikombinasikan antara yang datang lebih dahulu dengan yang mendaftar melalui aplikasi. "Agar ada keadilan antara yang punya akses ke aplikasi dengan yang tidak," kata dia.
Dia berpendapat, menaikkan harga tiket naik ke Candi Borobudur terkesan lebih ke arah komersialisasi daripada konservasi. Baginya, kebijakan demikian tidak berpihak karena pembeda untuk orang yang boleh berwisata ke situs warisan dunia itu adalah antara yang kaya dengan miskin.
"Harga tiket itu bisa lebih besar dari UMR buruh bila berkunjung dengan keluarga. Lalu apakah orang miskin tidak berhak untuk naik dan menikmati Candi Borobudur?" tanya Deddy.
Dia mengaku heran karena kalau memakai prinsip konservasi yang dipakai seharusnya yang dibatasi jumlah orangnya saja, dan bukan menaikkan harga tiketnya. Deddy menuturkan, harga yang disebutkan Menko Marinves Luhut B Pandjaitan itu jauh lebih besar dari situs bersejarah serupa di berbagai negara. Deddy mengatakan pernah melakukan riset harga tiket masuk ke situs Accropolis bersama 5 situs lainnya Yunani.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur