Militer bertugas menjaga kedaulatan dan pertahanan negara, sementara urusan pemerintahan menjadi domain pejabat sipil yang dipilih melalui mekanisme demokratis.
Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam birokrasi sipil dapat berujung pada militerisasi pemerintahan, yang berpotensi mengancam sistem demokrasi.
Sebagai solusi alternatif, mekanisme alih status dapat diterapkan bagi prajurit yang ingin menempati jabatan sipil.
Dengan mengundurkan diri dari dinas aktif, mereka dapat berkontribusi di pemerintahan tanpa membawa kultur komando yang bertentangan dengan prinsip birokrasi sipil.
Proses Demokrasi Tidak Bisa Diabaikan
Menanggapi pernyataan KSAD yang menyebut polemik ini sebagai “kurang kerjaan,” para akademisi dan pengamat politik menegaskan bahwa perdebatan ini justru esensial dalam negara hukum.
Proses revisi undang-undang tidak boleh sekadar didasarkan pada kebutuhan institusi tertentu, melainkan harus mempertimbangkan aspek demokrasi dan supremasi hukum secara menyeluruh.
Dalam demokrasi, perbedaan pendapat bukanlah gangguan, melainkan bagian dari mekanisme checks and balances yang memastikan setiap kebijakan dibuat berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Oleh karena itu, revisi UU TNI harus dikaji secara matang dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan militer dan kepentingan supremasi sipil dalam sistem pemerintahan.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan supremasi hukum, Indonesia perlu memastikan bahwa setiap kebijakan, termasuk revisi UU TNI, disusun melalui proses yang transparan, akuntabel, dan menghormati prinsip-prinsip dasar negara hukum. ***
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur