Ketimpangan Pengaturan Udara Lemahkan Kedaulatan NKRI

- Sabtu, 03 Mei 2025 | 05:40 WIB
Ketimpangan Pengaturan Udara Lemahkan Kedaulatan NKRI


POLHUKAM.ID - Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia, ruang udara memegang peranan strategis, bukan hanya sebagai jalur lalu lintas penerbangan sipil belaka, tetapi juga sebagai ruang pertahanan, komunikasi, teknologi, dan bahkan domain politik internasional. 

Mantan KSAU sekaligus pakar pertahanan yang kini aktif di Indonesia Center for Air Power Studies, menerangkan bahwa pengelolaan ruang udara itu perlu perangkat hukum yang memadai. 

“Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki kerangka hukum nasional yang benar-benar menyatukan pengelolaan ruang udara dalam satu sistem yang tangguh dan berdaulat. Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara (RUU PRU) mudah-mudahan hadir sebagai upaya menutup kekosongan hukum tersebut,” ujar Chappy dalam keterangan tertulis, Jumat, 2 Mei 2025.

Ia mengutip paparan akademik Prof. Dr. I.B.R. Supancana pada RDPU Pansus DPR, Rabu, 30 April 2025 yang secara tegas menggarisbawahi berbagai persoalan krusial yang selama ini tidak tertangani secara tuntas. 

“Salah satu persoalan paling mendasar dan menyakitkan adalah tentang pendelegasian wewenang pengelolaan wilayah udara Indonesia kepada negara lain di kawasan yang sangat strategis: Selat Malaka dan Kepulauan Riau,” ungkapnya.

Menurut dia, dalam Konvensi Chicago 1944 menegaskan secara eksplisit dengan menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara nasionalnya (Pasal 1). Begitu pula UNCLOS III 1982 menegaskan hak kedaulatan atas ruang udara di atas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan juga selat navigasi internasional.  

“Dalam konteks nasional, UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menegaskan kewajiban negara untuk mengambil alih seluruh wilayah udara nasional dari tangan pihak asing selambat-lambatnya 15 tahun sejak diundangkan yaitu jelas sebelum tahun 2024. Namun, kenyataan berkata lain, Indonesia justru memperpanjang pendelegasian pengelolaan FIR (Flight Information Region) kepada Singapura untuk 25 tahun ke depan dan akan diperpanjang, sebagaimana tertuang dalam perjanjian bilateral tahun 2022 yang telah diratifikasi melalui UU No. 1 Tahun 2023,” beber dia.

Jebolan AKABRI 1971 ini menilai Perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022 bukan sekadar kesalahan administratif. Ini adalah kompromi strategis yang sangat membahayakan dan merendahkan martabat bangsa. 

“Bagaimana mungkin negara sebesar Indonesia, yang telah memiliki otoritas penerbangan sipil berstandar ICAO dan kekuatan pertahanan udara yang kredibel, menyerahkan pengelolaan ruang udaranya kepada negara kecil tetangga?” tegasnya.

“Lebih menyedihkan lagi, wilayah yang didelegasikan adalah merupakan kawasan kritis di atas Selat Malaka, jalur perdagangan udara dan laut paling sibuk di dunia. Dalam kacamata geopolitik dan air power doctrine, penguasaan dalam mengelola wilayah udara berarti kontrol strategis terhadap lalu lintas udara sipil maupun militer,” tambahnya. 

Mantan Gubernur AAU ini menyebut ketika kontrol operasional berada di tangan negara lain, maka Indonesia kehilangan fungsi early warning, air defense identification zone (ADIZ), dan command and control atas wilayahnya sendiri. 

“Indonesia kehilangan kewenangan dalam melaksanakan Control of the Air, Use of Airspace dan Law Enforcement di kawasan teritorialnya sendiri,” ungkapnya lagi.

Masih kata dia, hubungan antarbangsa, terlebih antara Indonesia dan Singapura, harus dilandasi pada prinsip mutual respect dan mutual understanding, bukan melanjutkan pola pikir kolonial yang menjadikan wilayah negara lain sebagai alat untuk kepentingan satu pihak saja. 

“Dalam dunia modern, kolonialisme hadir bukan hanya dengan senjata, tetapi juga melalui sistem pengaturan udara yang timpang dan memanfaatkan kelemahan hukum negara lain untuk keuntungan sendiri,” pungkasnya.

Sumber: rmol

Komentar